“Pola pikir masyarakat Indonesia masih seperti kolonial, karena masih terpaku pada menggali sumber daya alam.”
Ucapan Anies Baswedan, terlepas dari banyak kontroversi di kalangan netizen, jika dipikirkan lebih dalam ada benarnya. Sebagai sebuah negara yang terkenal dengan kekayaan SDA yang melimpah, disadari atau tidak membuat kita sangat bergantung pada alam. Mulai dari pertanian, hasil laut, hingga mineral tambang terutama minyak dan gas, dan terkahir adalah panas bumi, Indonesia ada semua.
Letak geografi yang strategis, dan SDA yang melimpah, tak heran jika Indonesia menjadi rebutan negara-negara asing sejak zaman kolonial. Kolonialisme dan penjajahan mengeruk sumber daya alam kita yang bernilai ekonomis sangat tinggi, tanpa memberikan manfaat yang sepadan terhadap masyarakat Indonesia.
Zaman berganti, konstelasi politik internasional berubah, dan Indonesia menjadi negara merdeka. Tetapi sejarah mencatat praktik kolonialisme terhadap Indonesia masih berlangsung. Di daerah-daerah yang kaya SDA, terutama mineral tambang dan migas, seringkali ditemui kemiskinan yang parah. Eksploitasi besar-besaran dan inefisiensi pengelolaan pun terjadi di mana-mana. Inilah yang menjadi kritik dari Anies Baswedan, bahwa ``a tak bisa terus-menerus menggantungkan pada SDA untuk mencapai kemakmuran. Bahwa SDA suatu saat akan habis, dan untuk itu pengelolaannya harus efisien dan memberikan manfaat yang bagi rakyat sesuai amanah UUD 1945.
Salah satu SDA yang selalu menjadi sorortan dalam pengelolaannya adalah sektor migas. Selama beberapa dekade, migas menjadi sektor penyumbang terbesar bagi pendapatan Indonesia dari sisi SDA. Meskipun jumlahnya semakin menipis, tetapi penerimaan dari sektor ini masih signifikan bagi negara. Industri hulu migas, sebagai titik awal dari produksi migas di Indonesia, pun tak lepas dari pengamatan banyak pihak.
PSC dan Hulu Migas Indonesia
Industri hulu migas adalah industri yang high risk saat tahap eksplorasi. Bahkan ada yang bilang dari 10 titik yang dibor, hanya 1 yang dihasilkan. Padahal satu titik pengeboran membutuhkan biaya ratusan juta dolar. Tetapi industri ini juga high profit ketika berhasil mengeluarkan kandungan migas dari dalam perut bumi.
Berbicara mengenai sektor migas Indonesia, terutama industri hulu, tak bisa dilepaskan dari kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC). Skema ini dipandang mampu mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus melindungi dari risiko tinggi terutama pada fase eksplorasi.
PSC adalah mekanisme kerjasama pengelolaan migas antara Pemerintah dan kontraktor. Sistem ini diperkenalkan oleh Ibnu Sutowo pertama kali pada tahun 1960, namun baru benar-benar berlaku tahun 1966 saat PERMINA menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). Kontrak ini tercatat sebagai PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia.
diterapkan Prinsip-prinsip umum PSC adalah: kendali manajemen dipegang oleh perusahaan negara; kontrak didasarkan pada pembagian produksi (production sharing), setelah dikurangi biaya-biaya (cost recovery); resiko ditanggung oleh kontraktor; aset atau peralatan yang dibeli kontraktor dimiliki oleh negara; kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau melatih mereka; dan kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25% dari bagian mereka.
Di dalam PSC, kontraktor hanya berhak atas manfaat ekonomi (economic right) dari pengusahaan migas. Sementara hak atau kuasa pertambangan (mining right) dan hak atas minyak dan gas bumi (mineral right) tetap menjadi milik negara.
Mengapa PSC dan Perubahannya
PSC merupakan pilihan yang paling menguntungkan bagi Indonesia saat itu. Di masa Orde Lama negara Indonesia masih sangat miskin, bahkan mengalami hiper inflasi 600%. Akibatnya, kita tidak punya modal untuk mengembangkan industri yang high cost macam ini. Di sisi lain, industri hulu migas membutuhkan teknologi yang canggih, sudah pasti Indonesia tak mampu membeli teknologi itu. Dan terakhir, kondisi SDM kita yang belum siap karena tingkat pendidikan yang masih rendah.
Dalam perkembangannya, PSC telah banyak mengalami perubahan. Perubahan – perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan situasi dunia perminyakan yang selalu berubah. Secara umum perubahan tersebut dikelompokkan dalam 3 generasi, yaitu:
PSC Periode I (Tahun 1966 - 1975) di mana manajemen operasi dipegang oleh Pertamina; KPS menanggung resiko eksplorasi. Bila ditemukan hidrokarbon maka penggantian biaya (cost recovery) dibatasi sampai maksimum 40% per tahun dari jumlah pendapatan minyak yang dihasilkan.
Yang menarik pendapatan setelah dipotong biaya operasi dibagi dengan persentase 65% / 35% untuk keuntungan negara; kontraktor wajib menyerahkan 25% dari bagiannya kepada Pemerintah sebagai DMO dengan menerima fee US $0,20/bbl.; kredit investasi sebesar 20%; semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh Kontraktor menjadi milik Pertamina; sebesar 10% dari interest Kontraktor ditawarkan kepada perusahaan nasional Indonesia setelah lapangan minyak tersebut dinyatakan komersial.
PSC Periode II (Tahun 1976 - 1988) di mana batasan cost recovery ditiadakan dan capital expenditure dapat diperoleh kembali melalui depresiasi dalam waktu 7 tahun menggunakan sistem double declining balance dan non capital costtermasuk intangible cost, dapat diexpense; produksi setelah dipotong biaya operasi seperti minyak 65,91% untuk Pertamina, 34,09% untuk Kontraktor; gas 31,82% untuk Pertamina, dan 68,18% untuk Kontraktor. Sementara dari sisi pembayaran pajak sebesar 45% pajak pendapatan dan 20% pajak deviden yang menghasilkan 85% dan 15%, bagi keuntungan Pemerintah dan Kontraktor untuk minyak, sedangkan untuk gas 70% dan 30%. Berdasarkan UU Pajak 1984 maka untuk tetap menghasilkan equity split 85% dan 15%, maka pembagian pendapatan setelah dipotong biaya operasi dibagi 71,15% untuk Pemerintah dan 28,85% bagian Kontraktor untuk minyak, dan 42,31% bagian Pemerintah dan 57,69% bagian Kontraktor untuk gas.
Untuk new field, KPS diberi investmentcredit terhadap capital expenditures yang dikeluarkan untuk fasilitas produksi sebesar 20%. Untuk kontrak yang diperpanjang atau kontrak baru, domestic market obligation(DMO) crude setelah 5 tahun pertama ditetapkan dengan nilai US $ 0,20/bbl. 5. Kontraktor mendapat insentif harga ekspor penuh untuk DMO setelah lima tahun pertama produksi, dan insentif pengembangan 20% dari modal yang dikeluarkan untuk fasilitas produksi.
PSC Periode III (Tahun 1988 - Sekarang) mengalami beberapa perubahan.Pemberian investment credit, dengan syarat bahwa Pemerintah harus memperoleh 49% dari pendapatan kotor tidak berlaku lagi. Pendapatan komersialitas, jaminan minimum 25% dari pendapatan kotor untuk Pemerintah tidak diperlukan. Harga DMO 10% dari harga ekspor setelah selesai 60 bulan pertama. Penyisihan minyak pertama, 20% dari produksi disisihkan sebelum dikurangi biaya operasi kemudian dibagi antara Pertamina dan Kontraktor. Pembagian Produksi Daerah Frontier sampai dengan 50 MBOPD = 80/20, 50 - 150 MBOPD = 85/15, 150 MBOPD = 90/10. Tatacara perizinan disederhanakan.
Tanggal 22 Februari 1989 dibuat paket insentif lain. Pembagian untuk lapangan marjinal dan tertiary EOR pada wilayah konvensional 80/20 dan wilayah frontier 75/25. 2. Pembagian untuk produksi di daerah Pre-Tertiary dan laut dalam pembagian tambahan untuk produksi frointer. Investment Credit untuk laut dalam sebesar 110% untuk minyak dan 55% untuk gas. Perpanjangan masa eksplorasi 6 tahun menjadi 1 x 14 tahun. Harga gas diorientasikan pada komersialitas untuk pengembangan lapangan. Akses data tidak terbatas pada lahan yang ditenderkan. Perolehan data lapangan dilakukan oleh Pertamina dan terbuka bagi Kontraktor.
PSC Masih Menguntungkan?
Apakah PSC masih menguntungkan untuk Indonesia? Mengingat banyaknya kontrak PSC yang akan berakhir dalam waktu dekat, terutama Blok Mahakam yang dikelola oleh Total akan berakhir di 2017, maka untung rugi penerapan PSC harus dikaji lebih lanjut.
PSC diberlakukan karena saat itu Indonesia hanya memiliki “lahan” minyak, tak punya daya untuk eksplorasi. Alih-alih membeli teknologi sendiri, Indonesia memberikan izin sehingga “lahannya” digarap oleh kontraktor asing dengan iming-iming jika nanti ketemu minyak atau gas, keuntungannya dibagi. Kata kunci di sini adalah eksplorasi. Resiko gagal masih besar.
Kini, ketika tahapan eksplorasi sudah dilalui, para kontraktor migas berada di tahap eksploitasi. Artinya, minyak dan gas tinggal “dipanen”. Resiko kegagalan sudah diperkecil, dan untuk itu penerapan PSC menjadi tanda tanya. Dalam PSC disebutkan cost recovery, artinya biaya produksi yang dikeluarkan kontraktor selama tahap eksplorasi akan diganti oleh pemerintah. Di masa sekarang PSC dengan skema cost recovery sudah tidak relevan.
Ada wacana untuk mengganti PSC dengan contract servicessSeperti yang telah dilakukan oleh Arab Saudi. Dengan model ini, uang negara digunakan untuk menyewa jasa produksi migas kepada investor. Pemerintah cukup mengeluarkan uang untuk membayar jasa produksi migas kepada investor tanpa kehilangan sedikitpun sumber daya migas bagi negara.
Skema lain adalah mengubah komposisi bagi hasil PSC untuk blok-blok yang sudah melewati tahap eksplorasi, di mana prosentase yang diterima pemerintah dinaikan sedikit lebih banyak daripada kontrak lama. Tetapi nampaknya skema ini masih menemui jalan buntu. Selain karena faktor profit yang diterima kontraktor menurun, jumlah cadangan migas yang ada di perut bumi Nusantara juga semakin sedikit jumlahnya.
Di sisi lain, masalah kepastian hukum juga mendesak untuk segera dibereskan. Pada 13 November lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Salah satu argumentasi yang dibangun adalah inefisiensi pengelolaan migas sehingga tujuan untuk kesejahteraan rakyat belum tercapai. Selain itu, melalui konstruksi penguasaan migas melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola sumber daya alam Migas. Padahal pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki Pasal 33 UUD 1945. Efek dari berubah-ubahnya peraturan tersebut berimbas pada para investor yang ingin menanamkan modalnya di industri migas Indonesia.
Sistem kontrak pun banyak dikritik, karena menempatkan pemerintah sejajar dengan para kontraktor. Jika terjadi sengketa, maka Pemerintah seringkali berada dalam posisi yang lemah jika melalui arbitrase internasional sehingga aset negara bisa terancam.
Apapaun keputusan Pemerintah nanti apakah tetap menggunakan PSC atau tidak, semuanya akan bersumber pada UU Migas sebagai landasan. Wacana revisi UU Migas yang telah masuk agenda DPR tahun ini semoga membawa perbaikan bagi industri hulu migas agar dapat dimanfaatkan dengan lebih baik bagi kemaslahatan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H