Oleh : Bagus Anwar Hidayatulloh
Pendidikan merupakan kebutuhan vital yang seharusnya dimiliki pada setiap manusia sampai kapanpun. Banyak sekali pendidikan dikesampingkan akibat sebuah tuntutan hidup, tuntutan profesi dan yang lebih mencengangkan adalah akibat tututan kenikmatan hedonism yang semakin merajalela dizaman hedonisme bertaraf global yang absolute. Padahal setiap manusia pasti membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Titik ukur zaman yang serba instan ini menjadikan perubahan yang sangatlah siginifikan. Manusia seakan tak butuh lagi dengan pendidikan formal. Semua orang maunya serba cepat. Jadi, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara yang sedang berkembang dan dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita.
Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Ingin ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs. Mau transaksi transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Semua fasilitas yang serba intan tersebut justru menghambat akan adanya upaya penggapaian sebuah usaha yang berarti. Kemalasan untuk terjun dalam dunia pendidikan pun akan semakin merosot dan mungkin tidak ada niatan lagi. Tanpa sekolah pun bisa sukses, tanpa belajar pun bisa sukses, itu merupakan perkataan dan dalil orang pada masa kini yang tak percaya lagi dengan adanya sebuah pendidikan formal.
Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tidak ingin lagi berproses. Sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.
Dari sini pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya khazanah berfikir manusia dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri.
Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, seyogyanya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan. Untuk mengetahui makna sesungguhnya pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yakni:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari pengertian yang sudah tertera bahwa pendidikan bukan hanya sekedar jalan untuk mencapai kesuksesan berupa materi, tetapi juga sebuah proses untuk mengambil jati diri, penerapan ketaatan pada pola piker yang tidak pragmatis dengan aspek demokratis yang tetap berlandaskan pada nilai agamis, yang tidak akan luntur oleh sebuah materi yang selalu membayangi manusia di era hedonisme ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H