Globalisasi yang terjadi di seluruh dunia hingga hari ini seakan-akan menjadi hal wajar, terlepas dari dampak positif yang dihasilkan, nyatanya perkembangan dari globalisasi saat ini masih memiliki serangkaian dampak negatif terutama yang berkaitan dengan bidang ekonomi, sosial dan budaya. Harapan akan kesejahteraan dari adanya globalisasi bagi seluruh lapisan masyarakat nyatanya masih menjadi angin lalu yang belum terealisasi dengan pasti. Salah satu bentuk dari globalisasi dalam bidang ekonomi adalah perdagangan bebas berupa barang dan jasa, walaupun begitu pada saat itu belum ada perjanjian pasti yang mengatur mengenai hal ini. Osberg (2002) menjelaskan pada tahun 1948, tepatnya pasca perang dunia kedua, terjadi perluasan perdagangan dan muncul adanya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang mendorong kemudahan dalam mengurangi hambatan perdagangan antar negara. Hingga pada akhirnya World Trade Organization (WTO) didirikan pada tahun 1994 untuk menggantikan peran dari GATT sekaligus mempunyai kekuatan lebih kuat dalam mengatur perdagangan antar negara.
Mobilisasi dari perdagangan dan jasa kini tak bisa dihindari lagi, sejalan dengan penjelasan dari Osberg tersebut, kini juga memiliki regional atau wilayah yang terdiri dari beberapa negara anggota dalam memaksimalkan kerja sama. Salah satu contohnya adalah ASEAN atau perhimpunan negara-negara yang ada di Asia Tenggara, dalam menjawab tantangan globalisasi sekaligus menjaga stabilitas ekonomi kawasan, negara-negara tersebut kemudian mencanangkan ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan yang terbaru menciptakan sebuah sistem baru yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Melalui hal tersebut, saat ini masyarakat dapat secara bebas bekerja di negara anggota ASEAN sesuai dengan keterampilannya, tak hanya itu saja perusahaan asing pun kini dapat dengan mudah melakukan investasi. Hal ini kemudian akan meningkatkan perputaran ekonomi kawasan termasuk salah satunya juga akan meningkatkan kapasitas ekspor produk lokal. Dalam konteks Indonesia, ASEAN dinilai sebagai salah satu langkah bagi Indonesia dalam memainkan peran penting di kawasan, melalui ragam budaya, ras, etnis, hingga sumber daya alam yang melimpah dapat menjadi peluang dalam menghadapi arus globalisasi yang tidak menentu ini.
Ancaman Globalisasi bagi Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Terlepas dari segala dampak positif tentang hal ini, ada kekhawatiran yang perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Indonesia terutama dalam menyusun serangkaian kebijakan agar nantinya tidak merugikan masyarakat itu sendiri.
Terancamnya perusahaan lokal yang tidak mampu bersaing yang memaksa persaingan dagang dengan produk luar negeri, persaingan tenaga kerja lokal dengan asing dalam hal keterampilan kerja, hingga terkikisnya identitas nasional karena arus globalisasi yang kuat terutama melalui teknologi menjadi persoalan baru yang belum juga terpecahkan. Hal unik yang terjadi saat ini adalah teknologi nyatanya menjadi sebuah media baru dalam meningkatkan proses globalisasi yang kemudian akan mengancam budaya lokal dan norma perilaku individu.
Untuk mengatasi hal tersebut, Osberg (2002) memaparkan bahwa kebijakan pemerintah yang tepat dianggap mampu menjadi instrumen penting dalam mengatasi persoalan tersebut. Kebijakan sosial yang aktif saat ini justru dipandang sebagai kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat di era globalisasi saat ini, tidak hanya sebatas bantuan langsung tunai saja namun juga program lain seperti program pelatihan berjangka bagi masyarakat, menyediakan infrastruktur. Diharapkan melalui program tersebut mampu meningkatkan daya saing terutama dalam konteks ekonomi dan kualitas sumber daya manusia.
Tak hanya itu saja, istilah baru yang dikenal dengan sebutan "produk budaya baru" seperti musik, buku, film, televisi kini di turut menjadi sebuah komoditas yang mampu mempengaruhi norma, nilai dan perilaku masyarakat.
Munculnya rumah produksi seperti Sony Pictures Studio, Paramount, Universal Studio, hingga Disney kemudian menjadikan adanya dominasi produk budaya Amerika yang dijadikan sebagai komoditas terutama dalam mengubah cara pandang masyarakat.
Hal tersebut juga menjadikan ancaman dalam mengikisnya budaya lokal, melalui internet pula saat ini masyarakat cenderung mudah dalam mengakses musik maupun film dari luar negeri, secara tidak langsung hal ini akan berdampak pada perilaku masyarakat dalam menirukan perilaku dalam film atau bahasa dalam lagu. K-Pop yang menjamur di Indonesia selama beberapa tahun belakangan menjadi bukti nyata bahwa pengenalan produk budaya baru melalui teknologi internet kemudian merubah perilaku khususnya kaum muda di Indonesia yang kemudian mengakibatkan lunturnya musik lokal seperti campur sari maupun orkes melayu.
Sehingga hal tersebut kemudian menjadi tolak ukur bagi pemerintah dalam merancang dan melakukan kebijakan sosial yang dalam kaitan ini dapat mengendalikan masyarakat terutama dalam menjaga dan melestarikan bentuk-bentuk budaya lokal maupun norma di masyarakat Indonesia, sehingga budaya tradisional yang menjadi ciri khas Indonesia tidak akan sirna dan justru dengan adanya globalisasi ini dimanfaatkan sebagai saluran pengenalan nilai, norma, dan perilaku masyarakat Indonesia di mata dunia.