Lihat ke Halaman Asli

Tubagus Abdul Khaelani

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Pandemi, Sebuah Kesempatan yang Tidak Dapat Digunakan

Diperbarui: 30 Desember 2021   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Tubagus Abdul Khaelani
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi
Universitas Negeri Jakarta

Sudah lebih dari satu tahun pandemi hadir dan kita semua mulai secara bertahap beradaptasi dengan kondisi yang banyak sekali yang merubah kebiasaan kita sehari-hari. Tidak hanya harus beradaptasi dengan kondisi yang memaksa kita membatasi kegiatan kita dengan dunia luar, kita juga harus beradaptasi dengan bagaimana cara dunia berjalan sejak pandemi hadir.

Hal ini juga dirasakan oleh sektor Pendidikan, dimana beban awal untuk bisa mengikuti perkembangan dunia yang sudah meninggalkan kita cukup jauh, kita juga harus beradaptasi dengan metode pembelajaran yang sangat baru. Hal ini tentu saja memberikan banyak sekali dampak dalam proses perkembangan Pendidikan kita.

Kemendikbud yang dipimpin oleh Nadiem Makarim terus mencoba secara bertahap menyesuaikan diri dengan kondisi dan tetap berfokus kepada ketersediaan Pendidikan bagi masyarakat di tengah pandemi, hal ini dimulai dengan instruksi tetap berjalannya KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) lewat Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19).

Proses KBM pun tetap berjalan di tengah pandemi, namun dengan kondisi yang sangat baru tentu saja berharap terjadi perubahan dengan lancar adalah sebuah kenaifan. Beberapa masalah timbul; tingkat stres murid yang meningkat, beberapa tenaga pengajar gagap teknologi, tidak ada pengawasan yang cukup untuk memperhatikan proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan masih banyak yang lainnya.

Dari apa yang terjadi banyaknya masalah selama proses adaptasi terjadi kita akhirnya sadar bahwa masalah Pendidikan lebih banyak dan lebih kompleks dari apa yang kita kira. Selama ini rasanya masyarakat hanya mendengar solusi yang ditawarkan oleh pemerintah selalu mengganti kurikulum saat masalahnya lebih rumit solusi yang ditawarkan. Ketidakcocokan masalah dan solusi ini yang terus berlanjut dan rasanya seperti memelihara keterhantaran kualitas Pendidikan yang stagnan dan cenderung tertinggal dari perkembangan Pendidikan dunia.

Sepertinya kita perlu mengingat Kembali bahwa Pendidikan adalah sebuah mesin produksi, namun berbeda dengan pandangan Karl Marx bahwa Pendidikan hanya memproduksi kelas pekerja, kita harus melihat Pendidikan sebagai sektor yang memproduksi kesadaran. Gagasan ini ditawarkan oleh Giroux dimana produksi kesadaran adalah sebuah hasil dari proses pembelajaran yang dia tawarkan. Secara khusus hal itu adalah pedagogi kritis.

Pedagogi kritis memiliki beberapa unsur yang perlu diperhatikan untuk dapat mencapai tujuannya, yaitu menciptakan kesadaran. Pedagogi kritis perlu membangun kegiatan pembelajaran yang humanis dan demokratis, dimana untuk mencapainya dibutuhkan tenaga pengajar yang memiliki kompetensi. Demokratis dalam hal ini dimaksudnya untuk melibatkan siswa secara langsung untuk berperan dalam arah pembelajaran maupun metode yang digunakan dalam pembelajaran itu sendiri, atau istilah yang dikenal sebagai Student Base Learning (SBL).

Selain itu pedagogi kritis juga harus memperhatikan tujuan awalnya untuk menciptakan kesadaran kritis yang bertujuan untuk membantu peserta didik lebih mudah beradaptasi dengan dunianya. Dewasa ini pendekatan Pendidikan kita rasanya jauh dari pembangunan kesadaran kritis yang membuat siswa terus terkejut pada kondisi baru dan kehabisan waktu untuk beradaptasi.

Dengan berhasilnya pedagogi kritis diharapkan siswa yang lulus dari sekolah memiliki kesadaran kritis yang tidak hanya membantu mereka untuk memecahkan masalah pribadinya, namun lebih peka untuk menyadari adanya isu sosial yang ada di sekitar mereka. Pada akhirnya gagasan Giroux rasanya seperti solusi untuk Pendidikan, namun tidak dapat menutup mata bahwa kualitas Pendidikan kita sepertinya masih sangat jauh untuk menerapkan hal itu

Kita dapat melihat tenaga pengajar kita di Indonesia rasanya terlalu tersentralisasi tidak hanya dari kuantitas maupun kualitas di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini rasanya menjadi tidak adil dimana Indonesia sudah berjanji dalam UUD 45 untuk dapat menyediakan Pendidikan bagi rakyatnya. Untuk itu kuantitas dan kualitas tenaga pengajar menjadi salah satu masalah utama yang perlu di bedah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline