Lihat ke Halaman Asli

Supremasi Hukum: Tukang Sate Hina Presiden dibui, BCA Korupsi Pajak Rp 365 M Bebas

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14147396401964711112

[caption id="attachment_332355" align="aligncenter" width="640" caption="e-lawenforcement.blogspot.com"][/caption]

Ada yang salah dengan praktik hukum di Indonesia. Tempo hari seluruh rakyat Indonesia menjadi saksi bahwa sistem hukum kita kuat dan tanggap terkait penegakkan hukum. Kasus yang masih hangat adalah kasus penghinaan terhadap presiden yang dilakukan oleh tukang tusuk sate berinisial MA, seorang warga Ciracas berusia 24 tahun. Modus penghinaan terhadap presiden adalah dengan mengunggah foto hasil editan berbau SARA ke Facebook. Atas tindakan tersebut, MA dijerat beberapa pasal berlapis, yaitu pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang ITE dan UU Pornografi. Ancaman hukuman untuk MA mencapai 10 tahun penjara.

Perbuatan tersebut memang tidak bisa dibenarkan, terlepas dari dukungan Netizen yang menyayangkan penahanan MA oleh aparat merefleksikan zaman orde baru.

Tetapi yang menarik disini adalah, hukum sangat tegas apabila menyangkut orang-orang berkuasa atau orang-orang bermodal besar. Sedangkan apabila untuk membela rakyat jelata dan bermodal kecil, hukum seakan-akan enggan berbicara.

Dari contoh kasus diatas, pengakkan hukum atas penghinaan terhadap presiden sudah sangat tepat. Namun apabila kita lebih jeli, apakah hukum benar-benar tidak pandang bulu?

Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan harapan saya terhadap pemerintahan saat ini. Harapan terkait nasib pengusutan kasus pajak BCA.

Kasus korupsi pajak yang melibatkan mantan ketua Dirjen Pajak, Hadi Poernomo dan Bank BCA sudah setengah tahun lebih namun tetap saja kasus ini belum menunjukan perkembangan yang cukup signifikan.

Peran Hadi Poernomo dalam kasus pajak BCA diduga adalah penyalahgunaan wewenangnya sebagai Dirjen Pajak dengan dengan membuat Surat Keputusan (SK) yang melanggar prosedur terkait permohonan keberatan wajib pajak yang disampaikan oleh pihak Bank BCA. Hadi Poernomo selaku dirjen pajak diduga memanipulasi telaah direktorat PPH mengenai keberatan SKPN PPH BCA. BCA mengajukan surat keberatan wajib pajak dengan nilai yang cukup fantastis yakni sebesar Rp 5,7 triliun terkait kredit bermasalah-nya atau non performance loan (NLP) kepada direktorat PPH Ditjen Pajak pada 17 Juli 2003.

Setelah ditelaah oleh Direktorat PPH, permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan BCA ditolak, namun oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak mengintruksikan Direktur PPH yang semula menolak menjadi menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak yang dilayangkan pihak BCA sehari sebelum masa jatuh tempo pemberian keputusan final. Oleh putusan Hadi Poernomo tersebut, diyakini BCA telah merugikan negara dengan tidak membayar pajak sebesar Rp 375 miliar.

Oleh tindakan tersebut KPK meyakini adanya tindak penyuapan yang dilakukan BCA kepada Hadi Poernomo.

KPK telah menetapkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo pada kasus dugaan korupsi dalam permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA). Hadi dijerat jadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak periode 2002-2004.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline