BANDUNG, Kompasiana -- Sebagai seorang warga Bandung yang peduli terhadap lingkungan, saya merasa prihatin dengan masalah sampah sisa makanan yang semakin hari semakin menggunung di kota tercinta ini. Bandung, yang sering dijuluki Paris van Java, menghadapi masalah serius yang tampaknya tidak kunjung usai.
Di balik pesona keindahan dan daya tarik wisatanya, tumpukan sampah sisa makanan menjadi pemandangan yang tidak bisa diabaikan. Masalah ini bukanlah hal baru, namun solusi efektif tampaknya masih jauh dari jangkauan. Pertanyaan yang perlu kita jawab bersama adalah, langkah apa yang perlu diambil untuk mengatasi krisis ini?
Saya melihat bahwa volume sampah sisa makanan di Bandung terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari warung makan, restoran, hingga rumah tangga, limbah organik ini menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah kota untuk mengatasi masalah ini, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Ini mengindikasikan bahwa pendekatan yang selama ini diambil mungkin perlu dievaluasi dan diperbarui.
Sampah sisa makanan tidak hanya menjadi masalah estetika, tetapi juga masalah lingkungan yang serius. Sampah organik yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan pencemaran tanah dan air.
Cairan lindi yang dihasilkan dari pembusukan sampah dapat meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah, sementara gas metana yang dihasilkan dari pembusukan tersebut berkontribusi pada perubahan iklim. Dengan demikian, solusi untuk masalah ini tidak bisa ditunda lagi.
Salah satu langkah awal yang perlu diambil adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah sisa makanan. Edukasi harus menjadi prioritas utama.
Banyak warga Bandung yang masih membuang sisa makanan begitu saja tanpa memikirkan dampaknya. Program pengurangan sampah melalui gerakan "Kang Pisman" merupakan kepanjangan dari Kurangi, Pisahkan dan Manfaatkan yang pernah diluncurkan oleh pemerintah Kota Bandung perlu diperkuat dan diperluas cakupannya. Program ini harus mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam mengonsumsi makanan dan memanfaatkan sisa makanan yang masih bisa dikonsumsi.
Pemerintah juga harus berperan aktif dalam menyediakan infrastruktur yang memadai untuk pengelolaan sampah sisa makanan. Pembangunan fasilitas pengolahan sampah organik yang modern sangat diperlukan. Fasilitas ini dapat mengolah sampah sisa makanan menjadi kompos yang bisa digunakan sebagai pupuk.
Namun, fasilitas ini harus beroperasi secara optimal, dengan dukungan dana yang memadai dan tenaga ahli yang kompeten. Pemerintah juga harus mengembangkan sistem pengumpulan sampah yang efisien, dengan menyediakan armada pengangkut sampah yang memadai dan mengoptimalkan rute pengumpulan.
Teknologi bisa menjadi kunci dalam mengatasi masalah ini. Pengembangan teknologi pengolahan sampah yang lebih canggih, seperti bioreaktor anaerobik, dapat membantu mengurangi volume sampah sisa makanan yang dibuang ke TPA.