Lagu-lagu Grateful Dead menemani perjalanan saya ke tempat wisata selanjutnya. Kami akan pergi ke Cappadocia, sebuah daerah bersejarah yang harus ditempuh kira-kira 8 jam lamanya dari Pamukkale. Cukup lama saya tidur di dalam bus sembari diiringi musik band pimpinan Uncle Jerry. Musik yang terdengar begitu membangkitkan imajinasi, menjadi lebih berwarna-warni.
Sebenarnya, setiap kami berpindah dari satu kota ke kota lainnya, dapat dipastikan selalu menghampiri restoran untuk makan siang. Atau, mendatangi berbagai toko guna membeli oleh-oleh. Kata Ryan, pemerintah Turki telah mewajibkan bagi para turis asing untuk mengunjungi berbagai tempat yang termasuk dalam list paket wisata di negara tersebut. Hal itu ditenggarai demi meningkatkan pendapatan parawisata, apalagi di tengah-tengah pandemi covid-19 yang entah kapan akan selesai. Sehingga, beragam Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Turki---setidaknya- dapat bertahan dalam tekanan ekonomi yang mencekam.
Saya tak terlalu tertarik untuk menceritakan pengalaman pergi ke beberapa UMKM dan sejumlah restoran di Turki. Juga, enggan menerangkan secara detail apa saja makanan maupun minuman khas Turki yang dikonsumsi. Hingga sekarang, saya tak melihat hal itu penting untuk disampaikan. Mungkin suatu saat nanti, ketika tempat-tempat yang saya kunjungi di negara tertentu justru tak lebih memikat untuk dikisahkan. Bisa jadi pula karena saya memang tak menyukai makanan di Turki yang rasanya---secara umum- sangat hambar dan tawar. Serta, karena tidak menyukai bersinggah ke banyak toko yang membosankan. Hanya saja, keberadaan wanita menawan yang hampir berada di berbagai kota berhasil mengurangi rasa penat saya ketika berbelanja di toko tertentu atau mengisi perut di rumah makan.
Salah satu wanita berhasil menarik perhatian saya, yaitu ketika bus sedang berhenti di sebuah rest area saat hendak ke provinsi Aksaray. Sepertinya, saat itu sedang berada di kota Konya. Saya turun dari bus demi menghilangkan kesumpekan. Pada kesempatan tersebut, saya memperhatikan wanita yang sedang berbelanja bersama keluarganya. Dengan balutan kerudung hitam, auranya yang mempesona sukses memikat hati. Tak ada yang bisa dilakukan selain memandanginya, apalagi yang bisa saya lakukan? Sayangnya, dia hanya sebentar di sana. Seorang bapak tua yang menyetir mobil usang telah menunggunya. Entah akan pergi ke mana. Selekas mobil itu jalan, barulah saya menaiki bus untuk berkumpul kembali dengan keluarga dan meneruskan pelancongan.
Setelah melalui Konya, kami sampai di lokasi tujuan. Di sana, terdapat bangunan yang disebut The Sultanhani Caravanserai atau Caravanserai di distrik Sultanhani. Secara etimologi, istilah karavanserai berasal dari bahasa Persia. Kata itu terdiri dari dua istilah, yakni krvn atau terma yang ditujukan untuk sekelompok orang yang melakukan perjalanan jauh secara bersama. Seringnya, untuk keperluan dagang. Adapun kata kedua, sary, diterjemahkan sebagai 'istana'. Jika didefiniskan secara lengkap, karavanserai merupakan penginapan di tepi jalur perdagangan tempat para musafir (biasanya kafilah dagang) dapat beristirahat dan memulihkan tenaga dari perjalanan panjang.
Pada masanya, karavanserai menyediakan makanan dan minuman untuk pengunjung beserta hewan tunggangan mereka. Juga, tempat untuk mencuci dan ritual penyucian, seperti berwudhu. Karavanserai digunakan pula sebagai tempat berdagang antar kafilah yang singgah di area tersebut.
Saat itu, kami mendatangi karavanserai yang berada di Sultanhani. Pada abad ke-8, The Sultanhani dibangun oleh Kesultanan Turki era Saljuk sebagai lokasi bertemunya para pedagang yang datang melalui Konya-Aksaray sebelum berlanjut ke Cappadocia. Mengutip Jurnalis Republika, Agung Sasongko, karavanserai di Sultanhani mencapai puncak kejayaannya saat era Seljuk. Ketika pergantian kekuasaan di Turki ke dinasti Ustmani, tempat itu tak lagi dimanfaatkan. Sesuai kenyataan sejarah yang ada, dapat dikatakan bangunan tersebut menjadi cermin murni gaya arsitektur era Seljuk.
Secara fisik, ujar Sasongko, karavanserai terdiri atas halaman dan bangunan gedung yang melengkung. Di dalamnya, terdapat beberapa ruang guna berbagai keperluan. Seperti kamar menginap, depo, kamar pengawal, serta kandang untuk alat transportasi yang pada zamannya menggunakan hewan tunggangan. Ketika saya memasuki area tersebut, terlihat sangat sepi, kering, kotor, dan tak terawat. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Namun, saya cukup mengagumi tempat itu disebabkan terasa aura kuat yang tak dapat dijelaskan lebih lanjut.
Salah satu ruang yang unik di The Sultanhani Caravanserai adalah sebuah bangunan kecil di tengah-tengah bagian halaman. Bersama Hanif, saya perlu menaiki beberapa pijakan tangga guna mengetahui apa yang berada di dalam ruangan. Rupanya, ruangan di atas bangunan itu sangat kecil. Mungkin semacam mushola sederhana. Karena masih penasaran, kami akhirnya memasuki pintu kecil untuk menuju teras atas bangunan. Pintunya berada di ruang semacam musala tersebut. Kami perlu menaiki tangga dan melewati sela-sela jalur yang sangat sempit dengan tinggi ruang yang berukuran pendek, sehingga perlu menunduk agar tidak terantuk.