Berangkat Dari Catatan Penting
Praktik legislasi pada tahun 2020 sangat menarik perhatian publik juga memunculkan beberapa persoalan. Bagaimana tidak banyaknya gelombang penolakan terhadap suatu rancangan undang-undang (RUU) oleh masyarakat yang kemudian justru disahkan menjadi undang-undang menjadi contoh salah satunya.
Ditambah dengan keberadaan pandemi Covid-19 yang terjadi justru tidak direspon dengan baik dalam proses legislasi makin memperkeruh pandangan publik akan kepercayaan terhadap kinerja legislasi di Indonesia.
Setidaknya terdapat dua permasalahan pokok yang menjalar dalam praktik legislasi di Indonesia. Pertama, terkait transparansi keterbukaan proses legislasi, seperti misal akses dokumen terhadap suatu RUU yang masih sulit ditemukan hingga laman/kanal resmi digital penyebarluasan dokumen tidak jelas. Hal ini ditemukan misal dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menariknya draf tersebut justru mudah didapatkan melalui media sosial online, namun ironisnya media sosial pemerintah ataupun DPR tidak ada satu pun yang menyebarluaskan draf maupun naskah akademik tersebut secara resmi.
Ditambah draf RUU tersebut selalu berubah-ubah, misal draf versi paripurna tertanggal 5 Oktober 2020 berisi 905 halaman kemudian versi penyerahan kepada Presiden tertanggal 14 Oktober 2020 berisi 812 halaman, kedua draf perubahan inipun tidak dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat serta tidak ada legitimasi dari pemerintah atau DPR secara resmi draf yang benar.
Kedua, partisipasi publik dalam proses legislasi yang belum baik, ditahun 2020 ini masyarakat sulit untuk menyampaikan aspirasinya terlebih dimasa pandemi hingga waktu yang singkat dalam pembahasan RUU.
Hal ini terlihat lagi-lagi dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja misalnya, dimana rapat pengambilan keputusan tingkat I saja dilakukan diluar jam kerja dan hari kerja (hari sabtu malam tertanggal 3 Oktober 2020). Dua hari berselang dilakukan pembahasan tingkat II serta persetujuan bersama RUU tersebut. Padahal isi RUU tersebut berisi 15 bab yang sangat banyak ketentuan didalamnya.
Ditahun 2020 ini juga terdapat beberapa UU yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang (Perppu) yang justru mendistorsi partisipasi publik secara aktif. Seperti misal Perppu No. 2 Tahun 2020 yang berisi penundaan waktu pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dimana proses pengesahannya mengabaikan aspirasi publik (seperti penolakan dari dua ormas islam besar:Nahdathul Ulama dan Muhammadiyah dan demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat) dengan tetap disahkannya dan dilaksanakannya Pilkada ditengah pandemi.
Ironisnya pula, proses ini juga diketahui mengabaikan penolakan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai legislative partner. Penggunaan Perppu yang berpacu pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa dalam konteks pelaksanaan Pilkada ini justru bermotif politis dan mengabaikan aspirasi masyarakat demi keamanan masyarakat ditengah pandemi Covid-19.