Salah satu trah Sukarno yang digadang-gadang sebagai anak ideologis Megawati adalah Puan Maharani. Kedekatan Puan dan Sang Bunda membuat publik tidak banyak bertanya mengapa Jokowi memosisikan Puan sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam kabinet kerja. Sementara Prananda Prabowo, putera Megawati yang lain, malah sayup-sayup sampai kabarnya.
Kita pun sudah sama-sama maklum, Puan kerap menyoal kemandirian bangsa. Dalam kampanye politiknya, Puan mendompleng konsep Tri Sakti Sukarno: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Alhasil, Pun adalah politisi PDIP yang gandrung menentang pemerintah menambah utang pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Nahasnya, semuanya sekarang berbalik. Saat PDIP menjadi the rulling party di era pemerintahan Jokowi, Puan mendadak bungkam. Padahal, kebijakan-kebijakan Jokowi adalah apa yang dahulu ditentangnnya. Ambil contoh perkara utang pemerintah yang bertumpuk-tumpuk. Dahulu, Puan amat keras menentang pemerintah SBY untuk berutang. Dalam cuitan di akun Twitter bertanggal 15 Maret 2012, tegas-tegas Puan Maharani menulis,"Utang bukan coba dilunasi malah ditambah."
Herannya, Puan malah bungkam seribu bahasa. Tak ada satu pun pernyataannya yang mengkritisi rezim kalap berutangnya Jokowi. Jadi, ke mana Puan yang dahulu getol berteriak perkara kenaikan utang di era SBY? Apa yang terjadi dengan Puan? Apakah ia telah terjangkit virus oportunisme khas politisi? Bungkam setelah mendapat jabatan empuk?
Padahal laju pertumbuhan utang Jokowi jauh lebih besar ketimbang SBY. Kurang dari 2,5 tahun pemerintahan, Jokowi telah mendongkrak jumlah utang pemerintah sebesar Rp 1.062 triliun. Besar utang yang dibuat Jokowi setara dengan pertumbuhan utang pemerintah pada periode 2005-2013, yakni dari Rp1.311,7 triliun menjadi 2375,5 triliun, atau naik sebesar Rp1063,8 triliun. Artinya, penambahan utang selama 2,5 tahun pemerintah Jokowi setara dengan 9 tahun pemerintahan SBY. Sungguh peningkatan yang luar biasa!
Dan Puan tetap bungkam. Ia seolah-olah sekadar asyik membuka-tutup acara-acara serimonial. Pernyataannya mendadak dangdut, menjadi kalimat-kalimat terkait Gerakan Revolusi Mental. Nahasnya, kalau kita buka website Gerakan Revolusi Mental, hanya tidak aksi utama yang dikampanyekan: Bersih Indonesiaku, Indonesia Ramah pejalan Kaki dan Indonesia Bisa Antre. Apakah ini pertanda matinya kreatifitas?
Apakah ketiga aksi ini jauh lebih penting ketimbang menegur Jokowi yang kalap berutang? Apakah Indonesia Bisa Antre sepadan dengan pertumbuhan utang yang mengkhawatirkan yang akan diwarisi oleh anak-cucu kita kelak? Apakah Indonesia Ramah Pejalan Kaki sepadan dengan pemotongan APBN untuk membayar cicilan beban pokok dan bunga utang yang membuat anggaran kesejahteraan publik digunting sana-sini.
Jika iya, saya pikir ada yang salah dengan pola pikir Puan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H