Lihat ke Halaman Asli

Riska BagasPurnama

Lahir sebagai anak manusia

Menulis Surat untuk Tuhan

Diperbarui: 30 Mei 2022   12:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

" Selamat pagi Tuhan", pagi ini aku kembali duduk bersimpuh. Menulis dan membaca kembali surat ku untuk Mu, surat ini aku baca berulang --ulang. Entah ini surat yang ke berapa, yang jelas ini surat yang kesekian kalinya. Sudah beberapa kali aku kirim surat kepadaMu , tapi tak satu pun ku terima balas dan jawabannya. Entahlah aku tak tau,  apa surat-surat ku itu sudah Kau balas apa belum, atau malah masih menumpuk menunggu para petugas Mu untuk mengambil dan menyerahkannya kepada MU.  Jangan -- jagan Kau malah sudah membalasnya,  tapi aku saja yang belum merasa menerimanya?. Barang kali kau balas tapi  belum sampai ke tangan dan telingaku?, atau malah aku sendiri yang tak mampu membaca suratanMu?.  Ah aku tak tau, masalah itu kita bicarakan nanti saja. Sekarang aku ingin membicarakan surat ku ini.

Waktu itu, ditengah malam yang larut aku mendengar suara  yang tak asing di telinga ku. Lewat getaran suara itu, aku mencoba mengingat sesuatu. Aku tau suara itu datang dari masa lalu, aku mencoba tenang, menghela napas sejenak, berlahan aku coba meraba, menerka - nerka dan terus mencari tau sebenarnya suara apa dari mana dan siapa pemilik suara itu

Memanglah sulit bagi ku untuk kembali mengingat masa lalu. Sebab sekarang ini , isi kepala ku sudah penuh sampah yang tumpah sampai mana -- mana dan mencemari lingkungan dengan bau anyir yang tak begitu berguna. Cukup sampai situ aku mengingatnya, aku ingin tau pasti, suara yang tak pernah ku inginkan kedatangannya ini.

Segera ku putuskan untuk mencari tau bagai mana wujud dari suara itu. Aku berjalan dengan setengah berlari. Dengan beberapa kebutuhan yang ku pikul dengan bahu yang telanjang dan meninggalkan bekas hitam di bagian atasnya, kedua kaki terus ku ayunkan, yang ku tau, kaki ini begitu kuat bagaikan beton besi yang tak termakan karat. Telapak kaki ku sepertinya juga berlapis baja, karena sampai detik ini tak sedikitpun aku mengeluh sakit saat berada di atas kerikil dan bebatuan yang tajam di aspal jalanan.

Yah, setelah aku sampai di luar aku melihat dengan jelas suara itu.  Suara itu, suara derum hujan yang lebat, aku lari begitu cepat, sebisa mungkin menjauhi keramaian hujan itu, aku tak ingin basah kuyup, menggigil di pojok nasib tanpa seorang kekasih. Akan tetapi semakin kuat aku berlari semakin cepat hujan itu mengejarku, semakin aku menjauh semakin dekat pula aku dengan keramaian hujan itu.

Menjelang tengah malam, dengan kondisi seperti ini aku berusaha keras untuk melawan kegaduhan hujan yang terus berusaha membasahiku. Aku berlari dengan sekuat tenaga mencoba menenangkan hujan yang tengah ribut dengan angin topan. Aku melangkahkan kaki berlahan seakan - akan aku seperti orang yang telanjang, yang tak membawa satupun barang yang memberatkan langkahku.  Kosong tatapan mataku ini penuh dengan isi di kepalaku, dengan wajah yang begitu mencemaskan, aku menembus hujan yang ribut dengan deru angin, yang seakan memberi kesan betapa kacaunya dunia ku saat ini.

Ya malam itu angin datang menyeretku dan dihantamkannya aku ke tengah keributan agin dan hujan. Aku tergeletak tak berdaya, sekarat di depan  harapan ku sendiri.  Setelah beberapa saat, ketika hari akan segera berakhir, hujan pun ikut mengakhiri keributannya , aku terbangun dari lamunan yang panjang dan waktu menyeret ku ke dalam jurang kesesatan. Aku tak tau, kenapa waktu begitu kejam, menyeret ku ke dalam jurang yang begitu curam. Apakah waktu tunduk pada perintah Mu atau waktu yang tunduk kepada napsu dan egoku, atau memang ini sudah menjadi bagian dari cerita dalam nasibku?, ah entahlah aku pun tak pernah bisa membedakan yang mana nasib dan mana takdir.

 Meskipun kebanyakan orang mampu membedakan keduanya dengan beberapa kalimat, tapi jujur aku benar - benar tak punya kemampuan untuk membedakan keduanya. Aku juga tidak mungkin menyalahkan Mu hanya karena takdir atau nasib ku di dunia. Takdir dan nasib adalah bahasa MU dan tugas ku hanya membaca dan memaknainya. Ah sudahlah tentang waktu, nasib dan takdir biarlah menjadi urusan Mu saja, aku tak akan repot -- repot untuk mengurus dan mempermasalahkannya lagi.

Saat menulis surat ini tak ada seorang pun yang mendorong apalagi memaksa ku untuk mengadu kepada Mu dengan cara menulis surat seperti ini. Jadi saat aku menulis surat ini aku dalam keadaan sadar, sehat tanpa ada rasa tertekan sedikit pun.  Karena jurang ini sangatlah gelap, sepi dan hanya ada aku sendiri.

Kondisi jurang ini memang sangatlah gelap seperti ini, tak ada sedikitpun cahaya yang mau mendatangi tempat ini. Dinding -- dinding tebingnya juga penuh dengan semak berduri, didasar jurang juga terdapat kerikil kecil dan tak jarang aku menginjak  bebatuan tajam. Kini telapak kaki ku juga penuh dengan luka, darah bercucuran keluar dan satu persatu ku cabuti duri dan pecahan bebatuan itu dari telapak kaki ku. Kaki ku memang terasa sakit tapi masih bisa untuk berjalan, tapi mau ke mana?, arah saja aku tak tau.

Tapi dalam kesesatanku di jurang yang gelap ini, aku masih mengingat Mu, bahkan tak jarang aku memanggil-manggil nama Mu, dan tak jarang juga aku katakana " Tuhan, ku rebahkan semua mau ku, aku tak lagi inginkan hal yang tak Kau inginkan,  Tuhan, tunjukan aku jalan Mu, jalan yang seharusnya aku jalani ". Tuhan, dalam suratku ini aku juga melampirkan beberapa harapan, salah satu harapanku, aku ingin segera bebas dari jurang yang curam ini, kembali menemukan jalan Mu, jalan menuju penjara cinta dengan jeruji kasih sayangMu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline