Istilah Gender seringkali disama artikan dengan jenis kelamin. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Jenis kelamin dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat fisiologis yang telah melekat pada setiap manusia dan sulit atau bahkan tidak bisa diubah.
Sedangkan gender dimaknai sebagai sifat yang telah melekat diantara kedua jenis kelamin tersebut yang telah dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Konstruksi tersebut sifatnya dinamis dan dapat berubah ubah.
Ann Oakley menyatakan bahwa Gender merupakan konsep yang diciptakan oleh manusia secara sosial, melalui interaksinya satu sama lain dan lingkungannya (Erlina & Normadilla, 2020).
Adanya konstruksi tersebut, tidak sedikit melahirkan bentuk bentuk ketimpangan sosial yang membuat diantara kedua gender tersebut memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada selainnya. Ini mengakibatkan adanya ketidaksetaraan dan cenderung melahirkan bentuk penindasan atau diskriminasi.
Masalah masalah tersebut biasanya dihadapi oleh para perempuan yang sering mengalami bentuk diskriminasi/ketimpangan, khususnya pada hal akses dan penguasaan terhadap sumber sumber kehidupan, kesempatan, hak setara, status, peran dan juga penghargaan yang seharusnya layak untuk mereka dapatkan.
Perempuan sering dikonstruksi sebagai manusia kelas dua setelah laki-laki. Masalah ini menjadi hal yang sangat serius, khususnya bagi para perempuan yang mengalami bentuk bentuk penindasan kedudukan. Ini menjadi isu / masalah tersendiri dalam kaitannya dengan gender. Aspek masalahnya menyangkut pada hampir semua persoalan seperti pendidikan, karir, kepemimpinan, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, perjuangan dalam menghadapi isu tersebut perlu dilakukan guna memperjuangkan kedudukannya dan mampu mengubah konstruksi yang dibuat agar dapat setara dengan laki-laki.
Permasalahan tentang gender, khususnya dalam bentuk penindasan terhadap perempuan hampir sering terjadi di belahan dunia manapun, termasuk Indonesia, khususnya juga di Aceh.
Aceh sebagai wilayah yang pernah mengalami masa masa konflik antara kelompok GAM dengan pemerintahan Indonesia membuat pada masa masa tersebut otomatis mengalami kekacauan. Konflik yang ditimbulkan berdampak pada adanya kesenjangan dan ketimpangan kedudukan antara laki laki dan perempuan.
Adanya konflik juga melahirkan tindakan kekerasan, pelecehan, dan juga diskriminatif. Dampak yang dihasilkan mayoritas sangat dirasakan oleh para perempuan yang sering mendapatkan perlakuan negative, baik secara psikis maupun fisik. Perilaku diskriminatif memang menjadi hal yang sering dijumpai dalam kaitannya dengan permasalahan gender.
Pada saat konflik mulai mereda, bentuk-bentuk kekerasan dan diskriminatif juga masih berlanjut. Pokok permasalahannya terjadi pada perempuan yang masih tetap mengalami bentuk penindasan tersebut.