Jogjakarta, di pagi hari dimana sang mentari tersenyum dengan ramahnya. Sang Fajar telah datang lalu pergi lagi, mengantar sang mentari hingga ke ufuk Timur. Sejenak terdiam raga ini melihat indahnya langit dan sejuknya udara di pagi ini. Perlahan embun pagi sisa semalam, menetes dengan heningnya ke tanah bumi ini diiringi dengan kicauan burung yang terbang kian kemari. Sungguh pemandangan biasa di kota ini namun menggoreskan guratan luar biasa di sanubari dan pikiran ini. Secara sadar ataupun tidak rasa hening ini cukup kurindukan, bagaikan ditengah padang pasir kumenemukan segelas air,, yahhh... segelas air.
Dititik ini sejenak kumerasakan rasa nyaman yang lama tak bersua. Jogjakarta,, sebuah kota yang mengajarkanku bagaimana menikmati hidup dengan bersahaja, tak elak seperti kota solo,, kota kelahiranku. Kedua kota ini sepi akan kesibukan duniawi namun sarat akan makna yang membekas di sukma. Menghirup udara segar, melintasi jalan tanpa kemacetan, bermain tenis meja di sore hari tanpa membuat appointment, kerja bakti tiap minggu pagi tanpa disibukkan meeting, sekadar mengobrol bersama rekan sejawat dengan ditemani secangkir teh manis tanpa merk,, hal-hal yang sangat normal di dua kota ini namun sangat berharga untuk dilakukan di ibukota,, yah benar sekali,, jakarta. Jakarta, tak sekedar metropolitan karena telah berkembang menjadi kota megapolitan.
Kota yang sarat dengan perkembangan teknologi yang luar biasa, pusat siklus bisnis yang berputar tanpa henti, pusat mengembangkan karir secemerlang mungkin, pusat mencari koneksi sebanyak mungkin, dan hal besar lain yang tak ditawarkan oleh kota-kota kecil. Dimana di kota ini, kita bisa mendapatkan semua yang kita inginkan, apapun itu, selama rupiah masih berbaris dengan rapi di dompet dan rekening. Jakarta, kota yang mengantarkanku, seorang pemuda kampung, ke jenjang magister dan sarjana dengan double degree. Kota yang mengantarkanku ke arah jenjang karir yang perlahan mulai terbentuk.
Kota yang mengantarkanku menjadi pribadi yang sangat perhitungan dengan waktu agar bisa selalu produktif di setiap menitnya. Dan juga kota yang mengantarkanku ke impian -- impian besar. Namun Jakarta bukanlah sosok malaikat yang selalu menghadirkan mimpi-mimpi indah, tak jarang mimpi-mimpi kelam juga menjadi sosok lain dari sang ibukota,, yahh.. Jakarta. Kemacetan, egoisme yang tinggi, dan hal lain yang mengajarkan orang dari luar jakarta untuk bisa lebih mandiri, lebih tegar, lebih cuek dan lebih di hal lain agar bisa beradaptasi untuk hidup di kota ini. Yahh,, jika semua dilakukan dengan tekun,, kemapanan akan mudah didapat terutama dalam hal materi. Namun, apakah hal itu berbanding lurus dengan kenyamanan yang dirasakan???
Masing-masing dari kita akan memiliki jawaban yang berbeda tergantung bagaimana kita mendefinisikan apa itu arti kata nyaman. Yah,, tidak perlu memperdebatkan hal ini, semua tergantung preference masing-masing. Namun yang jelas, kenyamanan akan kondisi heningnya hidup di kota kecil, udara yang bersih, pola hidup yang sehat, pikiran yang tak selalu terbebani dengan pekerjaan, keramahtamahan di setiap sudut kota, kita akan sepakat bahwa hal ini tidak bisa didapatkan sepenuhnya di kota megapolitan. Pada akhirnya, pilihan akan kembali lagi ke kita, apa yang akan diprioritaskan, kemapanan atau kenyamanan,, akankah keduanya bisa didapat sekaligus? Atau memang ini adalah pilihan?,, The choice is yours.
Jogjakarta, sehari menjelang kembali ke Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H