Industri minyak bumi sudah berjalan lebih dari 100 tahun dan produktivitas minyak bumi semakin tahun semakin menipis. Turunnya produksi minyak bumi di Indonesia berkurang karena penurunan jumlah cadangan minyak yang ditemukan. Teknologi kovensional dalam pengeboran minyak yang digunakan sekarang hanya mampu memproduksi maksimal 45% dari total cadangan minyak yang ada. Sekitar 55% lainnya masih tertangkap di pori-pori batuan. Untuk itu perlu diterapkan peningkatan perolehan minyak bumi tahap lanjut atau Enhanced Oil Recovery (EOR) (Ko et al, 2014).
Peningkatan pengurasan minyak tahap lanjut (enhanced oil recovery) merupakan usaha terkini untuk meningkatkan produksi minyak pada lapangan tua yang telah mengalami penurunan produksi yang signifikan. Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (2020), terdapat sekitar 1440 sumur tua minyak bumi yang bisa diolah lebih lanjut. Dengan mengolah sumur minyak tua yang ada, harapannya dapat menambah produksi minyak bumi dengan tidak melakukan pengeboran lagi sehingga lebih praktis dan ekonomis.
Terdapat beberapa teknik proses EOR, yaitu thermal recovery, gas injection, dan chemical flooding. Salah satu metode EOR yang akan dilakukan yang paling banyak digunakan yaitu chemical flooding atau injeksi kimia. Salah satu bahan kimia yang digunakan adalah surfaktan. Penggunaan surfaktan dalam teknologi chemical flooding bertujuan untuk menurunkan tegangan antar muka antara minyak dan air serta membawa minyak yang tidak dapat terbawa oleh air (Baihaqi, 2015).
Injeksi surfaktan merupakan salah satu cara untuk mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan cara menginjeksikan suatu zat aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga tegangan antarmuka minyak-air dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan antar muka maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori batuan dapat didesak dan diproduksi. Agar dapat menguras miyak yang masih tersisa secara optimal maka diperlukan jenis surfaktan yang sesuai dengan kondisi air fprmasi dan reservoir tersebut (Rivai et al, 2011). Tegangan antar muka yang baik untuk proses EOR berkisar 10^-2–10^-3 dyne/cm (Ultralow Interfacial Tension). Sistem EOR memungkinkan surfaktan dapat digunakan dalam beberapa formulasi untuk meningkatkan produksi minyak bumi yaitu dengan kombinasi alkali, pelarut, ataupun polimer. Namun, surfaktan tersebut harganya relative mahal dan tidak terbarukan.
Mahalnya harga surfaktan tersebut membuat perusahaan dan researcher berlomba-lomba untuk dapat menemukan sebuah sumber daya penghasil surfaktan yang murah dan berkelanjutan. Ditemukanlah sumber yaitu minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Dalam perkembangannya PT Petrokimia Gresik bekerja sama dengan Surfactant Bioenergy Research Centre Institut Pertanian Bogor (SBRC IPB) menggelar uji coba mini plant untuk memproduksi surfaktan yang berasal dari CPO. Produk yang diberi nama Surfaktan Merah Putih ini merupakan pengembangan hasil riset atas kerja sama SBRC IPB dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Keunggulannya, produk ini mampu menurunkan tegangan permukaan yang lebih baik, dan memiliki harga jual kompetitif dibandingkan dengan produk impor sejenis.
Di sisi lain, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, produksi minyak sawit Indonesia tumbuh sekitar 9% dari tahun 2018 atau dari 47,43 juta ton di 2018 menjadi 51,8 juta ton pada tahun 2019. Dalam industri Pabrik Kelapa Sawit (PKS), aktivitas yang dilakukan adalah ekstraksi minyak sawit kasar dari Tandan Buah Segar (TBS) menjadi CPO. Ditinjau dari neraca material umum proses pengolahan sawit, akan diperoleh produk utama sebesar 24% untuk CPO dan 2,5% untuk PKO. Selain itu terdapat produk samping yaitu cangkang, serabut, janjangan kosong dan limbah cair sawit.
Dari segi jumlah, limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) atau yang lebih sering disingkat menjadi POME (Palm Oil Mill Effluent), memiliki angka produksi tertinggi dibandingkan dengan jumlah produk samping lainnya. Sebagai gambaran, dalam 1 ton TBS yang diolah maka dapat dihasilkan 0,6 ton POME. POME ini mengandung condensate dan sludge oil. Limbah cair condensate dihasilkan lebih banyak dibandingkan limbah cair sludge oil. Limbah cair condensate dihasilkan pada stasiun sterilizer, yaitu setelah perebusan tandan buah segar dilaksanakan. Sludge oil dengan nama lain minyak kotor diperoleh setelah melalui proses klarifikasi di stasiun klarifikasi. Sludge oil merupakan limbah cair yang memiliki bentuk menyerupai agar-agar dan berwarna kehitaman. Sludge oil adalah salah satu jenis limbah yang dipasarkan ke perusahan-perusahaan kosmetik dan biasanya digunakan untuk bahan baku sabun, kosmetik dan sejenisnya.
Dalam hal ini, sludge oil memiliki struktur yang sama seperti halnya CPO. Hanya saja sludge oil sudah dalam bentuk agak padat karena factor temperature. Sludge oil itu sendiri terdapat di kolam pabrik pengolahan kelapa sawit yaitu kolam 1–2–3. Sludge oil sendiri apabila tidak ditangani dengan benar dapat menjadi sumber utama pencemaran lingkungan dan apabila memasuki sumber air, maka dapat mengurangi kadar oksigen yang ada didalam air tersebut. Dari segi ekonomi, harga sludge oil lebih murah dibandingkan CPO. POME mengandung 0,6–0,7% minyak/ sludge oil. Jika dihitung pada PKS berkapasitas 60 ton per jam dengan waktu olah 22 jam per hari. Maka mendapatkan 55,44 ton sludge oil per hari. Ini potensi yang luar biasa besar.
Untuk itu, muncullah inisiasi untuk membuat surfaktan enhanced oil recovery dari sludge oil POME. Surfaktan ini akan lebih murah dan berlimpah dari sisi ekonomi pasokannya daripada CPO. Hal ini dikarenakan sludge oil belum banyak termanfaatkan secara komersial. Aspek keberlanjutan dari sumber daya ini juga patut untuk diperhitungkan. Pembuatan surfaktan dari sludge oil memakai katalis biofungsional dan memanfaatkan metil ester diepoksidasi dan kemudian disulfonasi untuk menghasilkan surfaktan anionic.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H