Lihat ke Halaman Asli

Uang 'Bukan' Alat Bantu yang Tepat

Diperbarui: 13 Januari 2017   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : Toonclips.com

| Mengemis Penghasilan |

Saat sedang menikmati makanan yang lezat di sebuah rumah makan, beliau menghampiri kami, seorang pengemis. Ia berkata bahwa anaknya belum makan selama satu hari ini. Sambil memandang wajah pengemis yang kusam, teman saya menyumbangkan Rp. 5000. Setelah mereka berterima kasih dan meninggalkan kami, saya menanyakan apa alasan teman saya memberikan sedikit uangnya. Rasa kasihan yang membuat teman saya rela menyumbangkan uangnya. 

Saya mengatakan bahwa hampir setiap pengemis itu berpenghasilan tinggi, hanya dengan bermodalkan minta-minta. Oleh karena itulah, Pemerintah lagi giat-giatnya membersihkan Indonesia dari mereka yang menolak merevolusi mental minta-minta. Apa yang teman saya jawab? “Aku sudah tahu”. Tampaknya, bukan hanya pihak yang minta-minta yang harus diperbaiki mentalnya. Saya tidak mempersalahkan keinginan untuk menolang. Yang ingin saya perbaiki adalah caranya.

| Terlibat Dalam Pembangunan fondasi |

Saya pernah diajak teman Mama ke tempat kumuh. Memang, beliau sangat gemar sekali sedikit meringankan masalah bagi mereka yang membutuhkan. Yang membuat saya kagum dari beliau adalah bentuk ‘hadiah’nya. Beliau memberikan sebuah tas kecil yang didalamnya lengkap dengan peralatan sekolah, seperti buku, pensil, dan lain-lain. Saya yakin banyak orang yang sudah mencoba dalam bentuk ini. Tapi ini adalah pengalaman pertama saya menyaksikannya secara langsung. Saya bisa melihat betapa kecewanya mereka yang sudah berharap diberikan sejumlah uang, malah diberikan peralatan tulis. 

Mungkin mereka mengatakan dalam hati, “memang gue makan buku!”. Yang penulis lihat adalah para anak-anak yang sangat gembira diberikan tas kecil yang lucu nan lengkap peralatan tulis didalamnya. Mereka sangat bahagia. Ada sebuah momen dimana saat teman mama saya sudah siap memberikan tas, lalu ia menariknya dengan alasan anak target yang masih sangat kecil. Ia tidak mau peralatan tulisnya dijadikan bahan jualan untuk meraup keuntungan, karena memang, target teman mama saya adalah anak-anak. 

Saya percaya, inilah cara yang seharusnya dilakukan semua pihak yang berniat menolong, yaitu tidak ‘menyuap’ dengan rupiah. Karena sesungguhnya, yang terpenting adalah kita terlibat membantu mereka untuk dapat membangun fondasi perekonomian mereka, yaitu dengan jalan pendidikan.  Kita harus terlibat agar mereka bisa mandiri, bukan terus berharap uang. Pendidikan bisa membasmi kemiskinan yang sudah bergenerasi. Merevolusi mental.

| Sepeda |

Di hampir setiap kunjungan kerjanya, Sang RI 1, Joko Widodo, selalu membawa sepeda untuk dibagikan kepada masyarakat yang berani maju ke panggung bersamanya dan menjawab sejumlah pertanyaan. Semua anak-anak pasti langsung menunjuk tangannya sebagai tanda keberanian mereka untuk maju. Mari renungkan, mengapa Pak Jokowi tidak memberikan amplop saja? Lebih mudah membawanya. Untuk menyiapkan juga sungguh mudah. Kerumitan ini rela ditempuhnya karena Jokowi adalah sang penggagas revolusi mental. 

Pada saat diwawancarai oleh Deddy Corbuzier, apa yang ingin diubah di Jakarta, Jokowi menjawab dengan tegas, masyarakatnya. Bukan banjir, bukan macet. Tapi mental masyarakatnya. Mental penerima amplop, pungli, uang tempel, uang rokok, mau dibersihkannya. Mengubah mental masyarakatnya, dipercaya Pak Presiden sebagai jalan untuk memperbaiki segalanya, termasuk banjir dan kemacetan. Merevolusi mental diri sendiri.

| Ahok dan BLT |

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline