Senja hanya sebentar
Kucumbui senja di pangkal gelisah
Pada laut berliur di tepi lidah, kulampiaskan sepi yang menanah
Pada angin menyusur di ujung desah, kutiup segala timbunan amarah
Pandang mata beredar, berhenti paku di ufuk barat
Ada jingga raksasa yang siap tertelan
Gelagat malampun sedia menjelma
Lekas kugegas menuju rumah
Siap kembali jadi pengawal hari
Sangsi puisi
Kusangsikan sebatang puisi ini bisa membuatmu tersenyum.
Karena katamu, senyum sekarang tidak lagi murah
Tak bisa ditukar dengan khayalan
Harus bikin kenyang untuk senang
Harus berwarna terang untuk melupakan kesedihan
Tak bisa dibandingkan dengan terawang yang enggan berkesudahan
Seperti puisi, seperti aku
Mempawah 13-10-2010
Sejak sajak
Sejak sajakku beranak pinak
Dengan wajah kosa kata
Bertubuh sepi
Bernafas gumam
Kutahu ini akan percuma
Karena tak kutunjukkan pada mereka
Siapa ibunya sebenarnya
Dan kini, aku hanya bisa bilang
Ibumu telah pergi, bukan di dunia puisi
Tapi dunia yang pasti memberinya suami
Mempawah 13-10-2010
Suara latar
Apa yang kudengar mungkin tiada kau sadar
Suara hujan jatuh di dahan hati
Diiring terpa angin utara jiwa
Oh, senyummu terlalu memukau
hingga segala bunyi menjadi nyanyi
tatapmu teramat teduh
hingga lirik berbau rintik
dan bila kau dengar setiap debar
ada namamu yang memusar
bersama rindu membelakangi di tiap jengkal pertemuan kita,
Boyolali, 22 11 11
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H