Paripurna sudah kegagalan Timnas U-19 di Myanmar. Kekalahan 4-1 dari Uni Emirat Arab, menjadi epilog yang telah menjelaskan semuanya. Tiga kekalahan, tanpa poin, juru kunci grup B, memasukan dua gol dan kemasukan delapan gol. Yang paling "spektakuler", satu-satunya tim yang tak mendapat angka dari 16 kontestan tahun ini.
Tadinya saya berharap, walau laga melawan UEA ini tak lagi berarti apa-apa untuk bisa menolong lolos dari grup, tapi setidaknya mereka bisa menang, minimal imbang. Syukur-syukur menang, bisa terhindar dari gelar juru kunci grup B. Lumayan bukan, sehingga yang dibawa pulang tak hanya dengkul dan kentut doang, tapi ada juga poin dan semangat yang masih ada.
Saya bahkan sedikit optimis, Evan Dimas cs bakal bisa dapat poin dari UEA. Masalahnya ini tim sudah pernah dikalahkan, bahkan sampai dua kali, tatkala tur Timteng disela-sela umroh tempo hari. Selain itu di media juga ramai-ramai diberitakan timnas u-19 rupanya cukup tegar, sudah melupakan kekalahan atas Uzbekistan dan Australia. Pelatih pun bilang, mental anak asuhnya sudah bangkit lagi, dan demi harga diri bangsa siap merebut poin lawan UEA.
Tapi yang paling membuat saya yakin bakal menang dari UEA adalah statement si uda kumis pelatih jelang berangkat ke Myanmar. Dia dengan santai ngomong lebih enak lawan tim asal Timur Tengah ketimbang lawan Asia Timur. Saya berasumsi, kata 'enak' itu mungkin bentuk penghalusan kata saja.
Bagaimanapun, tak enak juga kalau beliau ngomong jujur, berapi-api bin ceplas-ceplos sambil kacak pinggang seperti biasanya. Dia sesungguhnya ingin mengatakan lebih gampang menggunduli tim Arab dan sekitarnya ketimbang melahap Jepang dan Korea Cs. Lho, Korsel kan sudah pernah kita libas bos, dalam "beatle of becek" yang heroik di GBK tahun lalu , kenapa tiba-tiba jadi ngeri?
Itulah sayangnya, kenyataannya justru terbalik. Bukannya enak melawan tim asal Timteng, justru Garuda Jaya yang jadi santapan enak UEA . Jika Ostrali cuma sanggup sekali menjebol gawang timnas U-19, Uzbek pun cuma tiga, ini UEA bisa empat. Apa yang terjadi, UEA yang maju pesat atau kita yang jalan di tempat?
Ya sudahlah, mungkin kesedihan dan keterpukulan usai digebuk Australia dan Uzbek belum sepenuhnya sirna. Yang jelas UEA jelas-jelas telah melengkapi penderitaan dan semakin membuat merana tim pujaan bangsa ini. Memang sakit kalau sudah dininabobokan dan melayang-layang ke angkasa raya, tahu-tahu jatuh terhempas lagi ke bumi. Apalagi mereka memikul ekspektasi yang terlalu tinggi dari publik. Soalnya, Pildun untuk level usia manapun, rasanya belum makanan tim sepakbola kita. Seperti kata Pak Beye dulu, mungkin tunggu lebaran monyet dulu, baru bicara Pildun.
Kalau diibaratkan kadar apesnya tim satu ini di Myanmar, sudah jatuh tertimpa tangga, pas mendarat pantatpun digigit monyet. Lari terbirit-birit terinjak pula tahi kerbau, dan kepala pun benjol ditimpuk bola golf nyasar. Nasibmu Garuda Jaya...apes nian engkau, boys.
Tapi menurut hemat saya, apa yang dialami pasukan U-19 di Myanmar hanyalah buah dari sebuah pola dan kepentingan yang tidak memihak kepada kemajuan sepakbola kita. Jelas sekali tak memihak kepada membangun mental anak muda bangsa yang masih labil. Intinya, apa yang terjadi sama sekali tak memikirkan sepakbola Indonesia yang jauh ke depan.
Ini hanya sebuah pencitraan yang dibangun dengan ambisi terselip dan memakai rumus aji mumpung jangka pendek. Terang saja, kalau niat atau fondasinya sudah tak benar, jelas saja hanya akan menghasilkan sebuah tim yang rapuh dan mudah runtuh. Kenyataan itulah yang harus diterima Garuda Jaya. Dan inilah kesalahan terbesar itu. Faktor mental pemain, kesalahan media yang terlalu lebay mengekspos, ekspektasi tinggi publik, mungkin hanyalah faktor pelengkap kegagalan belaka.
Faktanya, bukan hanya persoalan kegagalan klimaks di Myanmar semata, tetapi tanda-tanda kerapuhan itu sudah terlihat kala mereka mulai mengepak koper untuk keliling negeri dengan baju Tur nusantara. Puncaknya saat diterjunpaksakan di Turnamen Hasanal Bolkiah di Brunei Darussalam. Dalam hal ini para pemain adalah korban nyata.