Beberapa hari yang lalu saya mendengarkan pidato dari rektor IHE Delft di acara wisuda S2 di Belanda sana. Saya baru tahu kalau rektornya sudah berganti ketika saya di wisuda di tahun 2015.
Meski rektornya sudah beda, tetapi materi yang disampaikan hampir sama. Intinya, rektor mengharapkan bahwa alumni IHE harus menjadi agen untuk perubahan tata kelola air yang lebih baik. Para alumni harus bersuara kepada pemangku jabatan tentang pentingnya air itu. Sebagai alumni, saya merasa terpanggil untuk bersuara juga.
Kebetulan saya baru saja pindah ke Jakarta dan Jakarta adalah contoh yang tepat tentang pengelolaan sumber daya air yang buruk. Selain banjir yang sudah menahun, kawasan di pesisir juga terancam akan naiknya muka air laut.
Pengambilan air tanah yang berlebihan juga menyebabkan tanah di Jakarta ini turun. Rata-rata tanah di Jakarta turun 10 cm/tahun. Bisa dibayangkan dalam 10 tahun, tanah yang kita tempati itu sudah turun 1 m. Ngeri bukan?
Di Jakarta ini semua masalah air itu ada baik secara kuantitas yaitu air terlalu banyak (banjir) atau masalah kualitas air (kotor) dan akses air bersih yang terbatas.
Penyelesaian masalah tata kelola air di perkotaan itu tidak mudah dan murah tapi bukan berarti mustahil. Yang pertama harus ada kesadaran yang kuat tentang pentingnya pengelolaan sumber daya air yang baik dari pemerintah.
Kemudian, siapkan master plan yang menyeluruh sebagai panduan untuk memperbaiki kondisi air di bawah tanah dan di permukaan. Stop total pengambilan air dari bawah tanah. Kemudian perbaiki kondisi tata guna lahan. Pastikan tidak ada lagi tambahan gedung bertingkat tinggi.
Kawasan yang terbengkalai harus dirubah menjadi kawasan hijau. Pindahkan kawasan kumuh dan padat penduduk ke tempat yang lebih manusiawi. Set kepadatan penduduk sesuai dengan rencana. Misalkan 10 orang/km2. Itu jadikan patokan bahwa kawasan mana yang harus diprioritaskan untuk ditata.
Program-program perbaikan sumber daya air baik bersifat pembangunan fisik dan kampanye kepada masyarakat harus gencar. Pastikan sungai dan drainase bisa berfungai dengan baik. Masyarakat harus ikut berpartisipasi baik dalam menjaga lingkungan dan saluran air di sekitarnya.
Terakhir, apapun itu, bahwa kesinambungan itu harus dilakukan. Percuma pada akhirnya hanya karena beda pandangan politik semua program terhenti. Dari awal konsepnya harus jelas. Ada master plannya. Siapapun gubernur yang terpilih harus ikut apa kata master plan. Kalau dalam master plannya menyebutnya normalisasi, ya ikut. Jangan buat pembahasan baru untuk menukar menjadi naturalisasi yang pada akhirnya jadi terbengkalai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H