Lihat ke Halaman Asli

Ekofeminisme sebagai Jalan untuk Mencapai kemerdekaan Paripurna

Diperbarui: 21 Januari 2023   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Ekofeminisme Sebagai Jalan Untuk Mencapai Kemerdekaan Paripurna"

 Gerakan Wangari Maathai dan green belt movement 1990-2004.

Oleh; Mohammad Badrus Sholih

Pergulatan perihal feminisme selalu menjadi buah bibir yang tidak pernah luput dalam pembahasan segala hal, baik dalam ranah politik, ekonomi, agama, maupun budaya. Feminisme dianggap sebuah gerakan yang tidak mempunyai landasan dan hanya sebagai batu penghambat dalam sebuah peradaban. Kita ambil contoh dalam bidang ekonomi gerakan feminisme menjadi penguat terhadap kelemahan perempuan, padahal ekonomi tidak bisa dilepaskan dengan sepak terjang perempuan di dalamnya, bagaimana perempuan menjadi tokoh penting dalam kemajuan perekonomian. Dalam politik, gerakan feminisme hanya menjadi penghambat terhadap konsep demokrasi, dan lagi-lagi kelemahan menjadi tolak ukur bagaimana perempuan tidak pantas untuk ada di dalamnya, begitupun juga di dalam agama, feminisme sebenarnya tidak harus ada, atau bahkan gender yang tak perlu diperhitungkan keberadaannya, sehingga gerakan feminisme dianggap sebagai objek yang dapat dieksploitasi sewenang-wenang.

Perjalanan gerakan feminisme selalu dinamis mengikuti kebutuhan zaman dan tuntunan hak-hak yang tercederai. Perjalanan tersebut tertuang dari banyaknya aliran-aliran gerakan feminisme baik dari feminisme Marx, sosialis, dunia pertama sampai keempat, feminisme Islam, dan juga gerakan ekofeminisme yang berfokus pada feminisasi alam dan perempuan.

Pada jurnal yang berjudul ekofeminisme: perempuan, alam, perlawanan atas kuasa patriarki dan pembangunan dunia (Wangari Maathai dan green belt movement 1990-2004) buah penelitian dari Risal Maulana dan Nana Supriatna membahas bagaimana feminisasi alam dan perempuan sudah terjadi begitu lama. Akar dari semua itu tiada lain adalah pandangan antroposentris yang menganggap selain manusia adalah sebuah objek yang dapat dimanipulasi, dieksploitasi, didiskrimnasi, didominasi, dan lain sebagainya. Dampak dari feminisasi tersebut menjerat alam dan perempuan masuk ke dalam lingkaran yang tak berkesudahan sampai saat ini.

Ekofeminisme diperkenalkan pertama kali oleh Francoide d'Eaubonne pada tahun 1974. Gerakan tersebut tiada lain untuk menyelamatkan dan memerdekakan alam dan perempuan dari segala macam eksploitasi yang terjadi pada diri mereka. Dampak feminisasi alam tiada lain adalah perusakan bumi besar-besaran berupa penebangan pohon besar-besaran, pengerukan tanah untuk diambil isinya, yang menyebabhkan dampak negatif -- kebakaran hutan, banjir, hutan gundul, dan masih banyak lainnya. Begitu juga yang terjadi kepada perempuan dengan adanya eksploitasi yang terjadi pada dirinya, baik dalam ranah publik maupun privat. Publik misalnya, perempuan dijadikan sebagai objek dalam menawarkan barang. Iklan-iklan menampilkan seksualitas perempuan untuk menarik pelanggan secara besar-besaran, karena mereka menganggap perempuan adalah satu-satunya objek yang mampu memberikan keuntungan besar terhadap sebuah produk.

Dalam penelitian ini Risal dan Nana memberikan perspektif ekofeminisme Wangari Maathai untuk memberikan kesadaran dan juga perlawanan terhadap feminisasi alam, perempuan, dan sebagai alat perlawanan atas kuasa budaya patriarki yang mengakar tajam. Konsep ekofeminisme Wangari adalah Green Belt Movement yang dikenalkan pada tahun 1977 sebagai langkah revolusioner dalam mengatasi krisis lingkungan yang terjadi di dunia. Gerakan ini juga menarik kesadaran dan simpati perempuan dan laki-laki agar ikut serta dalam perjuangan melawan para perusak alam, dan juga orientasi merujuk pada penyelasaian krisis lingkungan juga memperbaiki citra perempuan.

Objek kajian pada penelitian yang menjadi fokus pembahasan Risal dan Nana adalah daerah Kenya yang buminya dieksploitasi atas nama pembangunan peradaban, padahal dibalik itu sebuah alam dan perempuan mendapatkan dampak negatif, baik dari perusakan alam, dan juga stereotip buruk perempuan.

Dengan kosnep ekofeminisme Wangari dengan green belt movement mengajak perempuan dan laki-laki sadar dan berjuang demi mempertahankan alam supaya tetap hijau, dan perempuan merdeka secara utuh. Pembangunan peradaban dengan feminisasi alam dan perempuan adalah konsep yang tidak bisa dibenarkan. Alam merupakan subjek yang mampu menentukan dirinya sendiri, begitupun juga perempuan. Ekofeminisme menjadi jembatan terhadap kemerdekaan alam dan perempuan.

Penelitian Risal dan Nana memberikan kesadaran bawah dengan alasan apapun feminisasi alam dan perempuan tidak bisa dibenarkan. Begitupun juga bagaimana mengatasi hal itu semua dengan menyodorkan konsep green belt movement yang dipopulerkan oleh Wangari Maathai sebagai gerakan memberantas eksploitasi alam dan perempuan, juga penyadaran untuk melawan para manusia yang mengploitasi mereka berdua, agar alam dan perempuan merdeka secara paripurna.

Pasongsongan, 31 Agustus 2021




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline