“Perempuan adat menjadi benteng terakhir saat wilayah adatnya akan dirampas, karena tak rela sumber daya alam dihabisi. Apa yang mereka perjuangkan bukan untuk dirinya, melainkan demi generasi berikutnya”. Menarik untuk meresapi apa yang diungkapkan oleh Devi Anggraini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat AMAN (Kompas, 20 April 2017).
Selama ini peran perempuan adat dianggap tidak signifikan. Niatan mereka untuk menyelamatkan wilaya adat pun kurang didengar. Padahal, peran domestik mereka cukup jelas. Mereka menyokong kehidupan keluarga dan masyarakat dari alam yang dapat memenuhi segala kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Perempuan adat dan Kawasan Ekosistem Leuser
Berbicara mengenai perlindungan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan, terutama di Kawasan Eksosistem Leuser, tentu tidak akan terlepas dari peran perempuan. Para perempuan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, air bersih yang dibutuhkan untuk minum, mencuci, memasak, dan membersihkan keluarga mereka. Mereka tak jarang juga menjadi penyokong kebutuhan masyarakat adat ketika harus berhadapan dengan aparat atau perusahaan dalam konflik tenurial.
Banyaknya konflik yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sering dipicu oleh eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh sebagian pihak untuk mengambil keuntungan singkat dari sumber daya yang disediakan oleh Ekosistem Leuser. Seperti konflik di wilayah hutan Kemukiman Simpang Tiga yang menjadi sumber air bersih bagi 21 kampung yang berada di Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah. Hutan yang terdapat dalam wilayah tersebut telah mengalami kerusakan akibat pembalakan liar dan perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. Akibatnya terjadi penurunan debit air bersih yang mengalir di sungai Delong .
Rendahnya kepedulian dalam menjaga hutan yang berstatus lindung tersebut telah menyebabkan ribuan hektar hutan lindung berubah menjadi perkebunan dan tempat tinggal. Selain itu, penduduk Kemukiman Simpang Tiga juga merasa dirugikan karena perusahaan air minum daerah telah mengambil air dari sumber yang sama tanpa persetujuan masyarakat. Padahal menurut sejarah, sumber air tersebut sudah dirawat dan dikelola oleh masyarakat dengan membangun parit sepanjang 10 kilometer. Ribuan anggota masyarakat yang bergantung pada sumber air bersih dari Hutan Kaki Bur Ni Telong dan Bur Kul telah berkali-kali mengajukan protes kepada pemerintah, namun tidak ditanggapi. Hingga saat ini 2.200 hektar kawasan hutan lindung tersebut masih dalam sengketa penentuan batas-batas wilayah kemukiman.
Kondisi tersebut kemudian mendorong belasan perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga di Kabupaten Bener Meriah untuk memperjuangkan keberadaan air bersih di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka dibekali pengetahuan pararegal untuk menjaga lingkungan dan memastikan ekosistem di sekitar mereka tetap lestari dan terhindar dari kerusakan. Inisiatif ini sejalan dengan salah satu prinsip yang dikemukakan dalam Konferensi Internasional Air dan Lingkungan tahun 1992, bahwa perempuan berperan penting dalam penyediaan, pengelolaan dan pelestarian sumber daya air. Dalam konferensi PBB mengenai lingkungan di Rio de Janeiro tahun 1992 juga disebutkan, bahwa pengelolaan terpadu pada wilayah sungai sebaiknya dilakukan berdasarkan pendekatan partisipasi publik yang melibatkan perempuan, generasi muda, dan komunitas lokal dalam penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Peran perempuan dalam mengelola sumber daya alam di provinsi Aceh juga dilatarbelakangi sejarah konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berlangsung dari tahun 1960 hingga 2005 di Aceh. Pertempuran yang terjadi pada masa itu menghalangi aktifitas masyarakat untuk berladang hingga menyebabkan tingkat produksi pertanian dan pendapatan daerah Aceh menurun selama periode ini. Pada saat yang sama tingginya tingkat kematian laki-laki dalam pertempuran menyebabkan sejumlah besar rumah tangga dikepalai perempuan. Kondisi ini meningkatkan peran perempuan dalam mengambil keputusan berkaitan dengan pertanian swasembada.[1]
Bukti sejarah juga menunjukkan kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh perempuan secara berturut-turut, yaitu Sultanah Safiyatuddin Syah, Sultanah Zakiyatuddin Syah, Sultanah Kamalatsyah, dan Sultanah Inayat Syah. Selain itu sejarah Aceh juga banyak mencatat keterlibatan pahlawan perempuan yang cukup terkenal dalam perjuangan kemerdekaan seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia hingga Pocut Meurah. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa perempuan di Aceh memiliki kualitas dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam rangka memperjuangkan dan mengatur tatanan kehidupan di Aceh.
Mencintai Ekosistem Leuser perlu dilakukan dengan pendekatan perempuan, karena perempuan dan alam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Spritualitas perempuan akan menjadi roh penyemangat untuk terus melakukan perjuangan untuk memulihkan alam. Perspektif tersebut meyakini bahwa ketika alam teraniaya, perempuan pun pasti akan teraniaya. Perempuan menjadi representasi penyeimbang kehidupan di bumi ini. Wajarlah jika perempuan tergerak untuk melakukan perlawanan ketika alam dimana mereka hidup dirusak. Diantara sumber daya alam, air adalah salah satu yang sangat dibutuhkan perempuan dan harus dijaga kelestariannya. Dengan melibatkan perempuan dan memberikan mereka pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan air akan berdampak pada peningkatan kualitas air yang ada. Partisipasi perempuan dalam pengelolaan air juga dapat memberikan kontribusi positif dalam keberlanjutan sumber daya air dan upaya penghematan penggunaan air domestik sebagai usaha konservasi air.
Peran perempuan harus makin dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam di Aceh, khususnya Ekosistem Leuser, pada segala tingkatan. Perempuan harus disertakan dalam pengambilan keputusan terhadap berbagai hal terkait pengelolaan sumber daya alam. Pelibatan perempuan merupakan hal mutlak untuk mendukung pengelolaan Ekosistem Leuser yang lestari dan berkelanjutan.