Balai Bahasa Sumatra Utara (BBSU) membuka Kelas Puisi Tahap II untuk Pelajar SMP Medan dan Sekitarnya, Minggu (17/3) di aula kantor tersebut. Sebanyak 30 pelajar pilihan yang telah mengikuti Kelas Puisi Tahap I kian antusias, melahirkan puisi, serta mendiskusikan karya mereka.
"Selain menjadi insan kreatif dan cinta puisi, Kita berharap para peserta Kelas Puisi BBSU dapat memarakkan gerakan literasi di sekolah masing-masing," ujar Kepala BBSU,Kepala Balai Bahasa Sumatra Utara, Dr. Fairul Zabadi, usai memberikan materi "Literasi di Sekolah" kepada para peserta.
Fairul Zabadi mengemukakan, Kelas Puisi BBSU ini juga bermuara penerbitan buku puisi karya peserta ini. Penerbitan buku puisi ini diharapkan menjadi motivasi bagi pihak sekolah maupun pelajar-pelajar lain untuk menekuni puisi sekaligus memarakkan gerakan literasi sekolah.
Sebelumnya Fairul Zabadi memberi pemahaman kepada para peserta. Pada masa lampau, terangnya, literasi dipahami sebagai kemampauan membaca, menulis, dan berhitung.
"Pada hari ini, pengertian literasi berkembang sebagai kemapuan memahami dan memanfaatkan hasil bacaan dan menulis untuk kecakapan hidup," ungkap Fairul.
Dalam kesempatan itu, Fairul juga menyitir ungkapan futurolog, Alvin Toffle, yang menyebutkan orang yang tidak berliterasi pada abad 21 adalah bukan yang tidak mampu membaca dan menulis, tetapi adalah orang tidak bisa menjadi pembelajar: tidak bisa belajar, tidak belajar, dan tidak mau belajar.
Dia juga menyampaikan agar para peserta dapat menjadi penggerak literasi di sekolah masing-masing.
"Tujuannya agar tercipta lingkungan sekolah yang gemar membaca dan menulis.'
Kelas Puisi Tahap II ini juga diampu oleh Peneliti Muda Balai Bahasa Sumatra Utara, Nurelide, S.S., M.Hum, penyair Teja Purnama. Media video dan gambar digunakan untuk memicu gairah dan memantik imajinasi peserta.
Pada hari itu karya puisi peserta juga didiskusikan. Dalam diskusi ini, penyair Teja Purnama lebih bertindak sebagai pendamping diskusi sekaligus memberikan masukan dan saran untuk perbaikan karya peserta.
Di awal diskusi, Teja menyebutkan, penyair atau akademisi bisa mengajari orang menulis puisi, namun kehidupanlah yang melahirkan seseorang menjadi penyair.