Lihat ke Halaman Asli

Badriah

Ibu dari dua anak

Kartini Masa Kini, Kebablasan?

Diperbarui: 21 April 2024   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartini Sumber Gambar:COLLECTIE_TROPENMUSEUM 

Hampir semua perempuan menyepakati jika sosok Ibu Kartini sebagai cahaya dalam kegelapan untuk permasalahan penomor-duaan kedudukan perempuan dalam masyarakat Indonesia. Sinar terang bagi perempuan Indonesia, disepakati berkat isi surat Ibu Kartini kepada Estella Zeehandelaar yang memuat gagasan  emansipasi perempuan dan pendidikan bagi para perempuan. Dalam surat yang menjadi penerang bagi para perempuan, yang lahir setelah Hindia Belanda hengkang, adalah pemikiran untuk memberikan kesempatan yang lebih besar  bagi para perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan kebebasan yang sama dengan pria. Pun, pada surat tersebut dimuat harapan agar para perempuan tidak lagi dibelenggu dengan pembatasan sosial dan budaya yang mengekang kebebasan dan kesempatannya untuk berkembang. 

Dengan perjuangan Ibu Kartini. Kini, para perempuan Indonesia menikmati masa kesetaraan, kebebasan, dan kemerdekaan, hampir dalam semua aspek. Mulai dari Kepala Negara, menteri, gubernur, bupati, direktur, sampai ketua asosiasi perempuan, semuanya dapat ditempati oleh perempuan. Namun, dalam gegap gembira emansipasi, utopia kemerdekaan dari kekangan sosial dan pendidikan ini, menyisakan pertanyaan yang harus direnungkan. Apakah para Kartini masa kini, kebablasan? Mari kita cermati dampak emansipasi berlebihan di bawah ini.

Emansipasi berlebihan  mengakibatkan ketidakmampuan untuk menghargai pilihan individu. Sebagai contoh seorang perempuan setelah lulus S3, dia memilih untuk menghabiskan dan mengabdikan seluruh kehidupannya pada peran ibu rumah tangga dan mengambil tanggung jawab utama merawat anak-anaknya. Pada saat keputusan ini diketahui umum, muncul pandangan bahwa perempuan ini mengambil langkah mundur karena dianggap telah mengekang dirinya sendiri. 

Emansipasi yang diterapkan secara berlebihan mengakibatkan pencibiran dan kurangnya penghargaan terhadap pilihan individu (perempuan). Perempuan lulusan S3 dipandang rendah bahkan bisa saja dikecam oleh lingkungannya karena tidak  mengejar karier. Ketika perempuan ini meninggalkan pilihannya untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak, dan menjadi wanita karir sesuai harapan para pengikut pandangan emansipasi, akibat langsung yang dirasakan adalah perempuan tersebut mengalami kebebasannya untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginannya dan nilai-nilainya sendiri, terinjak-injak. Dengan kata lain, emansipasi yang berlebihan mengarah pada tekanan sosial atau normatif, dimana keinganan dan kebebasan para perempuan sebagai individu malah tereduksi.

Dampak lainnya adalah peniadaan perbedaan gender secara ekstrem. Perempuan dan pria secara gender memiliki aspek-aspek unik. Ketika peniadaan perbedaan gender diterapkan secara berlebihan maka identitas gender dan pengalaman pribadi akan hilang, atau bahkan muncul hal yang lebih buruk yaitu diskriminasi terhadap kaum pria. Secara tradisional, perempuan dan pria dipandang sebagai gender yang memiliki konstruksi sosial. Ketika emansipasi secara ekstrem diterapkan, konstruksi sosial, segala bentuk identitas gender dalam tindakan sehari-hari harus dihilangkan. Bahan bacaaan pada buku sekolah seperti "Ibu memasak di dapur", "Ayah membaca koran," harus dihapus karena dipandang aktivitas tersebut memasukkan stereotip gender yaitu 'memasak' sebagai feminin, dan "membaca koran' sebagai maskulin. Bayangkan jika penolakan feminin vs maskulin ini terus berlanjut. Kata sapaan"Ibu" merujuk kepada perempuan, dan kata sapaan "Bapak" untuk mewakili pria, dihilangkan. Akan terjadi kekacauan dalam perujukan orang.

Konteks emansipasi perempuan yang berlebihan bisa muncul dalam upaya menciptakan dominasi perempuan di atas pria, misalnya dalam dunia kerja. Para perempuan memperjuangkan kebijakan atau peraturan yang secara khusus akan menguntungkan perempuan. Kebijakan perektuatan atau promosi diperjuangkan akan secara eksplisit menguntungkan perempuan, tanpa memperhitungkan kualifikasi atau kinerja individu. 

Selanjutnya, perempuan yang terlibat sangat aktif dalam gerakan emansipasi perempuan dan memperjuangkan kesetaraan gender di semua bidang kehidupan. Dia menekankan pentingnya peran perempuan di tempat kerja, memperjuangkan kenaikan gaji yang setara dengan rekan-rekan pria, serta menuntut hak-hak yang sama dalam karier dan promosi. Untuk mencapai tujuan ini, dia  mungkin menemukan dirinya terlalu terikat pada pekerjaan dan menempatkan tekanan yang berlebihan pada dirinya sendiri untuk mencapai kesuksesan dalam karier. Dia mungkin mengorbankan waktu dan perhatian yang seharusnya diberikan kepada keluarga, teman-teman, atau kegiatan-kegiatan yang memberinya kesenangan dan keseimbangan dalam hidup. Akibatnya, perempuan ini mungkin mengalami stres dan ketidakpuasan yang berlebihan karena merasa terbebani oleh harapan untuk menjadi "superwoman" yang sukses di semua bidang kehidupan. Keseimbangan antara pekerjaan, keluarga, dan kebutuhan pribadi mungkin terganggu, menyebabkan dampak negatif pada kesejahteraan mental, fisik, dan emosionalnya.

Semoga kehadiran gagasan emansipasi Ibu Kartini tidak mendorong para perempuan untuk menerapkan emansipasi perempuan secara berlebihan, apalagi sampai kebablasan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline