Lihat ke Halaman Asli

Dia Memanjat Terus

Diperbarui: 13 Agustus 2018   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia memanjat terus. Keringat di sekucur tubuhnya mulai menguap. Padahal udara malam cukup dingin. Bahkan kelewat dingin. Dingin khas awal kemarau. Di langit tak segumpal awan yang menampakkan diri. Semua menyisih ke horizon yang jauh. Bergumpal-gumpal seperti kapas di kaki langit.

Sepertiga dari ketinggian 200 meter itupun telah dicapainya. Sebuah prestasi yang tidak terlalu penting dicatat. Apa sih artinya dua pertiga yang sisa, jika memang ia memanjat tanpa tujuan. ?

 

Tanpa tujuan ? Ah, seorang gila pun mungkin punya tujuan. Paling tidak, secara filosofis, tanpa tujuan itu sebenarnya juga adalah sebuah tujuan. Dan sekarang dua pertiga lagi dari ketinggian 200 meter itu ia akan sampai ke tujuan.

Di puncak menara itu memang banyak yang dapat menjadi tujuan. Ada penangkal petir yang menjadi incaran maling tiap malam. Jika dilelang di pasar loak bisa laku dengan harga yang lumayan. Selain itu banyak aluminium, besi tembaga, dan ya siapa tahu juga ... emas. Konon, alat-alat canggih yang dipasang di puncak menara itu ada yang berlapis emas. Tapi itu konon....

Tapi dia memanjat menara itu bukan niat untuk mencuri, sebagaimana lelaki malang yang digebuki warga beberapa waktu lalu karena ketangkap basah memanjat menara itu. Dia hanya memanjat saja. Sekadar untuk sampai ke puncaknya. Sekedar ingin menikmati suasana lain yang diharapnya dapat mengurai kegelisahan-kegelisahannya. Jadi tak ada alasan bagi warga untuk menggebukinya.

Tapi meski begitu salah paham bisa saja terjadi. Dan alangkah banyak korban salah paham, salah tangkap dan juga belakangan salah tembak yang sering terjadi. Masih ingat sengkong dan Karta, dalam kasus salah tangkap dan kemudian salah hukum. Puluhan tahun mereka mendekam dalam penjara dan kemudian terbukti tak bersalah setelah ada pengakuan dari pelaku yang sesungguhnya. Jadi ia memang mesti hati-hati untuk menghindar dari berbagai kesalahan yang dapat menimpanya.

Dua malam yang lalu dia sudah mulai memanjat. Tapi niatnya diurungkannya ketika kesibukan orang-orang di rumah Sunarti yang berjarak kira-kira 100 meter dari kaki menara itu dikhawatirkannya akan mengetahui niatnya. Dia tidak mau ada orang, apalagi orang banyak yang ikut campur dengan urusannya. Apalagi urusannya memang urusan pribadi. Benar-benar pribadi.

Menjatuhkan diri dari puncak menara dengan ketinggian 200 meter tentulah urusan pribadi, sepanjang tak ada yang campur tangan. Dan dua malam yang lalu dia memang berniat bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari puncak menara itu, pas ketika kekasihnya Sunarti sedang bersanding di pelaminan dengan pemuda pilihan orang tuanya. Ya, dia sakit hati. Sakit hati karena Sunarti, demikian rela mengikuti kehendak orang tuanya tanpa konpromi dengannya. Padahal dia sudah berjanji sehidup semati dengan Sunarti. "Tak ada yang bisa memisahkan kita kecuali maut !" demikian janji mereka saat bersama di puncak.

Tapi sekarang dia menyadari janji tidak selamanya bisa dipercaya. Sunarti telah menghianatinya. Sunarti tak bisa meyakinkan orang tuanya bahwa dia telah mengikat janji yang setia. Bahkan Sunarti seolah-olah mengejeknya, menganggapnya lelaki yang tak mampu bertanggung jawab.

Kali ini dia akan sampai ke puncak. Dia membayangkan bagaimana nanti saat detik-detik terakhir ia akan melepaskan pegangannya di puncak ketinggian 200 meter menara itu, lalu membiarkan tubuhnya lemar melayang-layang di udara malam yang dingin beberapa menit sebelum terdengar kedebuk yang keras di tanah, yang mungkin akan mngundang perhatian orang-orang yang ada di seputar menara itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline