Lihat ke Halaman Asli

Yang Tergusur dan yang Memberontak?

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

133932874177100563

Oleh Badaruddin Amir

[caption id="attachment_181882" align="alignleft" width="259" caption="Sumber: wajonews.com"][/caption] Daeng Becak, demikian ia dipanggil di Makassar, memang selalu mendapat “posisi” yang tidak enak. Sudah tempatnya di belakang penumpang, harus berkeringat lagi menggenjot pedal becaknya mencari muatan keliling kota. Predikat ‘Daeng” (Gelaran Suku Bugis/Makassar) atau “Bang” (Jakarta) yang disandangnya pun berkonotasi semu, sekedar sapaan begitu. Artinya, dalam pranata sosial kata “Daeng” atau “Bang” jelas berbeda dengan kata “Daeng” yang melekat pada nama Daeng Parani (Makassar), Daeng Pasau (Bugis), atau Bang Ali Sadikin (Jakarta).

Eksistensinya selaku wong cilik menyebabkan komunitas mereka jadi marginal (baca: warga pinggiran) yang selalu diuber tibun tanpa perlawanan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, eksistensi mereka bahkan tak diterima karena dianggap sebagai penghambat kelancaran arus lalulintas dan tidak sesuai lagi dengan budaya yang serba cepat dan tergesa. Lebih dari itu, juga dianggap mengotori keindahan kota. Pasal-pasal rekayasa, seperti ‘pekerjaan tak manusiawi’, atau mengembalikan ‘praktik perbudakan manusia’ menjadi argumen untuk menggusur eksistensi mereka dari habitatnya di kota. Bakhan lebih ekstrim lagi, seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu di kota Jakarta, becak-becak itu dirazia di mana-mana kemudian dikumpul untuk seterusnya dijadikan “rumpon” (dibuang ke laut), sehingga memaksa komunitas “Abang” di sana mencari habitat baru di desa-desa. Becak kini tinggal jadi kenangan dalam sastra sebagaimana yang ditulis pada cerpenSeno Gumira Ajidarma“Becak Terakhir di Dunia”, Marselli“Becaaaak!”, dan cerpeni-cerpenis lainnya.

Sama halnya di metropolitan lain, di Makassar pun komunitas “Daeng” yang pernah berjaya dan berjasa sebagai alat transportasi sederhana ini tak bisa bebas lagi berkeliaran mencari rejeki seenaknya karena adanya “rambu” yang melarang mereka melintas kawasan tertentu. Bersaing dengan komunitas pete-pete (demikian orang Bugis/Makassar menyebut angkot atau taksi) juga tak mampu mereka kalahkan. Maka banyaklah di antara mereka terpaksa mencari habitat baru di desa-desa.

Namun pada habitatnya yang baru di desa-desa tak serta-merta pula telah memberi kebahagiaan pada mereka, karena pete-pete (Angkot/taksi) yang merebut penumpang demikian rakus juga telah menguasai semua trayek jalan (jurusan) sampai ke sela-sela gunung. Jatah mereka tinggal penumpang yang butuh masuk ke lorong-lorong sempit di luar trayek komunitas pete-pete. Celakanya, komunitas lain bernama “Ojek” yang semula hanya melirik peluang di lorong-lorong yang ada di kota, telah pula melirik peluang itu di desa. Mereka yang kalah bersaing di kota mulai bertranslok ke desa. Sedang mereka yang di desa memiliki kendaraan roda dua dan tidak punya pekerjaan lain segera memasang helm yang bertulisan “Ojek” dan mengejar penumpang yang hendak masuk ke lorong-lorong. Dan komunitas ini pun sekarang berjumlah puluhan atau bahkan ratusan yang mangkal di lorong-lorong dalam setiap wilayah kecamatan. Bila Anda turun dari Bus umum di terminal atau di Panyingkul (Istilah Baharuddin Lopa alm. untuk menyebut tikungan) Anda akan segera dirubung oleh tukang ojek sebelum tukang becak alias Daeng Becak sampai di depan Anda terengah menawarkan jasa. Lagi-lagi “Daeng” yang hanya mengandalkan tenaga menggenjot pedak tak mampu bersaing dengan komunitas “Ojek” yang menawarkan jasa dengan menggunakan kendaraan bermesin ini.

Tapi tidak semua Daeng Becak menyerah kalah begitu saja pada nasib mereka. Kalau Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen “Becak Terakhir di Dunia” menggambarkan perjuangan Rambo dalam mempertahankan eksistensi becak yang dilakukannya secara heroik dalam sebuah cerita fiksi, maka dengan pola pikir sederhana “Daeng Becak” berani memberontaki eksistensinya yang tergusur dalam bentuk kreativitas di alam nyata. Sebut saja namanya Daeng Parabba, lelaki Bugis setengah baya yang mengaku sudah lama menekuni profesi sebagai tukang becak ini merasa tersingkir dengan kendaraan ojek yang beroperasi sampai ke desanya. Ia merasa tak kuasa untuk melawan mesin. Maka ia pun membeli sebuah motor Honda bebek butut dengan harga miring (tak laku untuk dijadikan ojek) namun mesinnya masih tokcer. Bagian depan motor itu dipenggal lalu disambungkan ke as bagian bawah becaknya dengan memakai pipa sebesar lengan sebagai pengganti sepeda berpedal yang ada di belakang becak. Maka jadilah hasil modifikasinya sebuah helicak made in Bugis. Dengan becak bermesih hasil ciptaannya ini Daeng Parabba bebas berkeliaran mencari muatan tanpa harus mengeluarkan tenaga. Kreativitas ini patut dihargai, meski barangkali dari satu sisi ia telah melanggar peraturan lalulintas mengenai perobahan bentuk asli dari sebuah kendaraan yang bentuknya sudah memiliki hak paten.

“Sekarang saya tidak perlu berkeringat lagi membawa penumpang sebesar apa pun orangnya” katanya sambil tertawa bahagia.

Sayangnya, nasib buruk tak pernah berhenti menguntit “Daeng Becak”. Begitu becak bermesin ini mulai ditemukan entah oleh siapa, para pemilik modalpun memproduksinya secara besar-besaran dan mengganti namanya menjadi “Bemor” (Becak motor), dan sialnya, beberapa daerah telah mengeluarkan Perda larangan “Bemor” beroperasi di daerahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline