Lihat ke Halaman Asli

Para Khulafaur Rasyidin (4): Ali bin Abi Thalib RA

Diperbarui: 9 September 2024   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nama Asli Beliau

Mengutip dari al-Bidayah wa an-Nihayah, nama asli beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib, bin Hisyam bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Luai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'd bin Adnan. Ali bin Abi Thalib dilahirkan sepuluh tahun sebelum Rasul shalallahu alaihi wa sallam diutus menjadi nabi. Beliau adalah sepupu Rasul shalallahu alaihi wa sallam dikarenakan, ayah beliau merupakan saudara kandung dari ayah Rasul shalallahu alaihi wa sallam, Abdullah.

Ali bin Abi Thalib memiliki lima orang saudara kandung yaitu, Thalib, Aqil, Ja'far, Ummu Hani, dan Jumanah yang semuanya berasal dari satu orang ibu, yaitu Fathimah binti Asad. Jarak masing-masing umur dari bersaudara ini adalah sepuluh tahun. Ali bin Abi Thalib memiliki perawakan yang sedang tetapi sedikir lebih cenderung ke pendek, lengannya besar, telapak tangannya kekar, memiliki leher yang sedikit bungkuk dan mengkilat, perutnya besar, berbahu lebar serta terdapat tulang lunak yang menonjol. Beliau memiliki mata yang hitam, berjanggut tebal, bagian depan kepalanya botak, serta berwajah tampan. Meskipun beliau memiliki perawakan fisik yang sedikit ke arah gemuk, di dalam kancah peperangan beliau biasanya berjalan sangat cepat.

Ali bin Abi Thalib Sebelum dan Setelah Islam

Ali bin Abi Thalib tumbuh besar di bawah asuhan langsung Rasul shalallahu alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan ketika Abu Thalib mengalami kesulitan dalam kehidupannya, Rasulullah dan pamannya yang lain yaitu Abbas bin Abdul Muthalib berinisiatif untuk membantu meringankan beban Abu Thalib dengan mengasuh salah satu dari anak-anaknya. Abbas kemudian mengasuh Ja'far bin Abi Thalib sampai bisa menafkahi dirinya sendiri, sementara Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengasuh Ali bin Abi Thalib. Berada dalam asuhan manusia mulia sejak usia belia sangat berpengaruh terhadap akhlak dan keimanan Ali bin Abi Thalib nantinya. Sahabat Ali bin Abi Thalib termasuk sahabat yang paling awal masuk Islam atau assabiqunal awwalun. Banyak riwayat yang berbeda terkait usia Ali ketika masuk Islam, ada yang mengatakan 8 tahun, 9 tahun, 10 tahun, dan 12 tahun. Yang jelas, Ali merupakan assabiqunal awwalun dari golongan anak-anak. Istri pertama Ali bin Abi Thalib adalah Fathimah binti Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Beliau menikahi Fathimah setelah Perang Badar dengan mahar baju besi Hathamiyyah seharga 400 dirham.

Ketika Islam mulai berkembang dan muncul banyak peperangan, ahli sejarah sepakat bahwa Ali bin Abi Thalib mengikuti seluruh peperangan kecuali Perang Tabuk. Absennya Ali di Perang Tabuk merupakan perintah Baginda Rasul shalallahu alaihi wa sallam karena Ali ditugaskan untuk mengantikan beliau di Madinah. Ketika Perang Badar, Ali merupakan utusan yang ditugaskan untuk berduel satu lawan satu melawan Syaibah bin Rabi'ah, seorang kafir Mekkah dan berhasil menang dengan mudah. Ketika Perang Uhud, Ali juga merupakan algojo dalam duel melawan Utsman bin Thalhah dan berhasil menang dengan menebas kakinya hingga putus. Ketika kekalahan muslimin dalam perang tersebut dan berita meninggalnya Rasul shalallahu alaihi wa sallam, Ali menghancurkan sarung pedang dan mengacak-acak barisan musuh hingga mendekati Rasulullah. Beliau juga adalah bagian dari para sahabat yang menjaga Rasul ketika kondisi peperangan semakin kacau. Pada hari itu, beliau mendapatkan 16 luka dalam usahanya melindungi Rasul shalallahu alaihi wa sallam.

Kisah kepiawaian Ali bin Abi Thalib berlanjut ketika Perang Khandaq dan Perang Khaibar. Pada Perang Khandaq, Ali berhasil mengalahkan Amr bin Abdi Wudd sang algojo terkuat kaum musyrikin dengan menebas urat antara pundak dan lehernya hingga ia jatuh tersungkur. Pada Perang Khaibar, Ali berhasil membunuh Marhab sang algojo Khaibar dengan mendaratkan pukulan telak ke kepalanya. Bahkan karena saking kerasnya pukulan Ali, pedangnya menembus kepala Marhab sampai ke giginya dan suara pukulan tersebut terdengar hingga ke barisan kaum muslimin.

Ali bin Abi Thalib di Zaman Khalifah Sebelumnya

Setelah wafatnya Rasul shalallahu alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib diceritakan menolak setiap jabatan pemerintahan yang diberikan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman serta lebih memilih menyibukkan diri dengan memperdalam ilmu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya hadits yang diriwayatkan dan ditulis oleh Ali bin Abi Thalib dibandingkan dengan khalifah pendahulunya. Abu Bakar dan Umar ketika mereka menjadi khalifah menjadikan Ali sebagai sahabat dekat mereka serta sering meminta saran terkait kebijakan pemerintahan. Pada masa kekhalifan Utsman, Ali merupakan sahabat yang taat pada setiap kebijakan yang dibuat oleh Utsman bin Affan. Beliau juga mengutus kedua putranya, al-Hasan dan al-Husein untuk berjaga di rumah Utsman bin Affan ketika terjadi peristiwa pengepungan dan menewaskan Utsman bin Affan. Ketika berita meninggalnya Utsman sampai ke telinga Ali, beliau pun menampar al-Hasan yang sedang terluka dan mendorong dada al-Husein. Beliau juga mencela putra az-Zubair dan Thalhah yang dianggapnya gagal dalam menjaga keselamatan Utsman bin Affan.

Ali bin Abi Thalib Ketika Menjadi Khalifah

Meninggalnya Utsman bin Affan membuat kondisi kota Madinah tidak lagi kondusif. Para sahabat yang saat itu sedang berada di Madinah segera bergegas menemui Ali dan membai'at beliau di masjid. Para sahabat baik kaum Muhajirin dan Anshar memilih Ali dikarenakan ketika Umar mencalonkan enam orang untuk menggantikannya, yang tersisa adalah Utsman dan Ali. Sehingga mereka yakin bahwa orang yang paling layak untuk menduduki jabatan kekhalifahan setelah Utsman adalah Ali. Pemerintahan pada masa Ali bin Thalib tidak ada ekspansi wilayah yang dilakukan. Hal ini dikarenakan perbedaan faham antara Ali dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan yang enggan mengakui Ali sebagai khalifah yang sah dan mulai mengirim pasukan untuk merebut wilayah kekuasaan Ali. Sehingga masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib disibukkan dengan memadamkan banyaknya pemberontakan. Meskipun demikian, sang menantu Rasulullah ini tetap memimpin dengan kezuhudan, keadilan, kebijaksanaan, dan ketawadhuan.

Fitnah di Zaman Sang Sepupu Rasulullah

Pemerintahan Ali bin Abi Thalib masih mewarisi kekacauan yang ditimbulkan oleh Abdullah bin Saba' di masa pemerintahan Utsman bin Affan. Fitnah tersebut berhasil memprovokasi Mu'awiyah bin Abi Sufyan untuk menolak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah. Hal inilah yang kemudian membuat Mu'awiyah mulai mengirim pasukan untuk merebut wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian mengharuskan beliau untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah (Irak). Perselisihan saudara sesama muslim ini didasari kesalahpahaman yang membuat Mu'awiyah beranggapan, bahwa selaku sepupu dari Utsman bin Affan ia berhak untuk menuntut hukum qishas bagi pelaku pembunuh Utsman. Isu ini juga digunakan oleh para penyebar fitnah untuk memprovokasi para sahabat yang lain, bahwa Ali hendaknya mendahulukan qishas untuk pembunuh Utsman ketimbang mempertahankan wilayahnya yang direbut oleh Mu'awiyah. Cepatnya penyebaran fitnah dan berita yang simpang siur membuat persatuan umat Islam semakin kacau, yang puncaknya adalah perang saudara sesama muslim, yaitu Perang Jamal dan Perang Shiffin. Perang Jamal adalah perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Bunda Aisyah radhiyallahu anha bersama dengan Thalhah dan az-Zubair. Sementara Perang Shiffin adalah perang saudara sesama muslim antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Perang Jamal menewaskan az-Zubair yang dipenggal kepalanya oleh Ibnu Jurmuz dan Thalhah yang terkena panah nyasar di lututnya dan membuat pendarahan hebat yang membuatnya meregang nyawa. Sementara Perang Shiffin menewaskan sahabat yang mulia Ammar bin Yasar yang dibunuh oleh seorang Khawarij yaitu Abu Ghaidah dengan cara dipenggal kepalanya. Akhir dari konflik saudara ini adalah dengan perundingan damai yang terkenal dengan nama peristiwa tahkim, yang dikemudian hari akan memunculkan aliran-aliran baru dalam agama Islam seperti yang kita kenal saat ini.

Wafatnya Sang Menantu Rasulullah

Perjalanan berat pada masa pemerintahannya, ditutup oleh sang menantu Rasulullah dengan tebasan pedang yang telah dilumuri racun oleh Abdullah bin Muljam, seorang Khawarij yang kalah dalam pertempuran Nahrawand. Ibnu Muljam menghujamkan pedang ke arah kening sang khalifah hingga pecah dan nampak bagian putih dari otaknya serta membuat darah mengalir membasahi janggutnya. Tiga hari setelah itu, sang sepupu sekaligus menantu Rasulullah ini menghembuskan nafas terakhirnya untuk menghadap Sang Maha Pencipta. Mu'awiyah bin Abi Sufyan ketika mendengar kematian Ali bin Abi Thalib segera menangis sesenggukan hingga air mata membasahi janggutnya. Para ulama' ahli sejarah sepakat akan keutamaan antara dua orang sahabat ini, yaitu Mu'awiyah dan Ali. Hanya saja, untuk masalah perselisihan hingga menyebabkan peperangan ini, para ulama' menyimpulkan bahwa Mu'awiyah salah dalam mengambil langkah ijtihad (kesimpulan hukum). Namun hal ini tidak mengurangi keutamaan beliau sebagai salah satu sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang mulia.

Istri dan Anak Ali bin Abi Thalib

Dalam al-Bidayah wa an-Nihayah dijelaskan bahwa Ali bin Abi Thalib menikahi banyak wanita di antaranya adalah Fathimah binti Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan dikarunia al-Hasan, al-husein, Zainab, dan Ummu Kultsum. Istri beliau yang lain adalah Khaulah binti Ja'far bin Qais, Laila binti Mas'ud, Ummul Banin binti Hizam, Asma binti Umais, as-Shahba', Umamah binti al-Ash bin Rabi' (cucu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dari putri beliau Zainab), Ummu Sa'id binti Urwah bin Mas'ud, Mahyat binti Imrul-ul Qais, dan beberapa istri lainnya. Ali bin Abi Thalib total memiliki 14 anak laki-laki dan 19 anak perempuan, yaitu Muhammad dari Khaulah, Ubaidillah dan Abu Bakar dari Laila, al-Abbas, Utsman Ja'far dan Ba'dallah dari Ummul Banin binti Hizam, Yahya dan Aun dari Asma binti Aun, Umar dan Ruqayyah dari ash-Shahba', Muhammad dari Umamah cucu Rasulullah, Ummul Hasan dan ramlah dari Ummu Sa'id. Beliau juga memiliki beberapa anak lainnya dari istri beliau yang lain antara lain Muhammad, Ummu Hani', Maimunah, Zainab, Ramlah, Ummu Kultsum, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu Kiram, Ummu Salamah, Ummu Ja'far, Jamanah, dan Nafisah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline