Terisolasi dari keramaian, tersembunyi diantara 2 bukit yang mengapit. Tidak ada petunjuk apapun mengenai keberadaannya, namun cukup sulit untuk menggapainya. Air terjun Triban adalah secuil nirwana yang menggoda berhiaskan padang ilalang yang asri di wilayah Kota Probolinggo.
Gumpalan-gumpalan awan putih yang menggantung di langit biru pada pagi hari yang cerah cukup membakar antusiasku untuk menjelajahi Kota Probolinggo. Dengan menggunakan sepeda motor dan mengandalkan Google Map, aku dan Yen berangkat dari homestay dengan tujuan Air Terjun Watu Lawang yang berjarak 23 kilometer dari kota.
Sesampainya di Jalan Raya Ngepung yang menjadi titik akhir kordinat yang tertera di Google Map cukup membuatku bingung untuk mencari keberadaan air terjun tersebut. Lalu kuhentikan sepeda motor tepat di depan salah satu warga yang sedang berdiri di tepi jalan sambil membawa cangkul, aku mencoba bertanya kepadanya tapi bapak tua itu tidak mengetahuinya, namun beliau mengarahkanku untuk ke air terjun Madakaripura.
Tidak mendapatkan jawaban yang kuinginkan, aku berlalu dari hadapannya dan kembali melajukan sepeda motor perlahan-lahan menanjak keatas sambil menoleh ke kanan-kiri mencari jalan masuk. Dikungkungi oleh keraguan yang menggeliat, dari belakang Yen menepuk-nepuk pundak lalu kuhentikan laju sepeda motor di tepi jalan.
Diam-diam, Yen browsing untuk mencari info keberadaan air terjun tersebut dan mendapatkan salah satu artikel yang berisikan tentang Air Terjun Watu Lawang. Lalu kubaca dari atas sampai ke bawah. Di dalam artikel tersebut disebutkan sebelum SMKN 1 Probolinggo terdapat gang kecil yang menjadi pintu masuk.
Lalu kulajukan kembali sepeda motor perlahan-lahan mengikuti petunjuk yang tertulis. Dan beberapa meter di depan, kulihat salah satu sekolah dan gang kecil yang berhiaskan gapura dari bambu seperti yang tertulis. Kubelokkan sepeda motor masuk ke dalam gang sampai di ujung di salah satu rumah warga, dan kuparkirkan sepeda motor di tempat tersebut.
Tidak ada seorang pun di area rumah-rumah warga, tapi aku melihat plang bertuliskan "Parkir Motor Ke Air Terjun". Sejenak kami sangat senang karena sudah menemukan jalan masuk. Setelah turun dari sepeda motor, kami berjalan memasuki perkebunan yang dipagari bambu namun terdapat celah untuk masuk ke dalamnya, kami berjalan mengikuti jalan setapak perkebunan hingga di ujung.
Sampai disini, kami kembali kebingungan mencari jalan untuk turun ke bawah. Lalu aku menyuruh Yen untuk menunggu, sementara aku turun ke bawah beberapa langkah untuk melihat situasi. Jalurnya terlihat begitu curam dan sangat menyeramkan karena tekstur jalan tanah kering bercampur pasir. Kemudian aku kembali menghampiri Yen yang berdiri menunggu, setelah itu melihat-lihat sekitar.
Kemudian kulihat jalan setapak yang lain, lalu mengajak Yen untuk berjalan menyusuri jalan setapak yang memutari perkebunan sampai pada satu titik jalan yang sedang dalam perbaikan dengan tumpukkan pasir yang menghalangi jalan. Kami terus menyusuri jalan itu sampai di ujung terdapat saung yang bersandingkan batu besar dengan jalan yang bercabang, jika ke kiri mengarah ke perkebunan yang lain, sementara ke kanan mengarah turun ke bawah.
Sejenak kami berhenti lalu menoleh ke arah kanan dan melihat dari kejauhan sebuah aliran sungai yang memanjang. Dan beberapa saat kemudian, aku memutuskan mengambil jalur kanan dengan jalan setapak yang menurun ke bawah tapi tidak terlalu curam. Aku berjalan di depan, Sementara Yen berjalan di belakang. Kami berjalan memutari bukit yang ditumbuhi oleh ilalang.
Teriknya matahari yang menghujam tidak menyurutkan langkahku, namun dalam jarak tertentu sesekali aku berhenti dan menoleh ke belakang melihat Yen yang berjalan melambat penuh dengan kehati-hatian. Saat Yen sudah mulai mendekat, kulanjutkan jalan kembali, Sementara gemericik alunan aliran air sudah terdengar diantara kesunyian yang menyibak.