Lihat ke Halaman Asli

Tekad Pendakian Pertama di Gunung Semeru

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diantara rangkaian perjalanan saya kali ini hanya pendakian Gunung Semeru inilah yang paling jelas, dari itinerary, perlengkapan sampai persiapannya, sedangkan yang lain masih samar-samar alias modal nekad. Hal ini dikarenakan dalam pendakian ini saya bergabung dalam tim Elkape Indonesia, dalam misi mereka mengibarkan Bendera Merah putih di sepuluh puncak tertinggi di Indonesia, dan Gunung Semeru ada gunung kedua setelah sebelumnya mereka mendaki Gunung Slamet. Gunung ini masuk dalam kawasanTaman Nasional Bromo Tengger Semeru. Taman Nasional ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Terdapat beberapa gunung di dalam Kaldera Gn.Tengger antara lain; Gn.Bromo (2.392m) Gn. Batok (2.470m) Gn.Kursi (2,581m) Gn.Watangan (2.662m) Gn.Widodaren (2.650m). Terdapat empat buah danau (ranu):Ranu Pani,Ranu Regulo,Ranu KumbolodanRanu Darungan. Flora yang berada di wilayah Gunung Semeru beraneka ragam jenisnya tetapi banyak didominir oleh pohon cemara,akasia, pinus, dan jenisJamuju. Sedangkan untuk tumbuhan bawah didominir olehKirinyuh,alang-alang,tembelekan,harendongdan Edelwiss putih, Edelwiss yang banyak terdapat di lereng-lereng menuju puncak Semeru. Dan juga ditemukan beberapa jenisanggrek endemikyang hidup di sekitar Semeru Selatan. Banyak fauna yang menghuni gunung Semeru antara lain :macan kumbang,budeng,luwak,kijang,kancil, dll. Sedangkan di Ranu Kumbolo terdapat belibis yang masih hidup liar. Gunung SemeruatauSumeruadalahgunung berapitertinggi diPulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl). Kawah di puncak Gunung Semeru dikenal dengan nama Jonggring Saloko. Semeru mempunyai kawasanhutan Dipterokarp Bukit,hutan Dipterokarp Atas,hutan Montane, danHutan Ericaceous atau hutan gunung. Posisi gunung ini terletak di antara wilayah administrasi Kabupaten Malang dan Lumajang, dengan posisi geografis antara 8°06' LS dan 120°55' BT. Pada tahun1913dan1946Kawah Jonggring Saloka memiliki kubah dengan ketinggian 3.744,8 M hingga akhir November1973. Disebelah selatan, kubah ini mendobrak tepi kawah menyebabkan aliran lava mengarah ke sisi selatan meliputi daerah Pronojiwo dan Candipuro di Lumajang.

Terminal Arjosari Meeting point pendakian ini adalah di Terminal Arjosari Malang, namun karena sama-sama di Malang malam hari sebelumnya saya sempatkan untuk mampir ke rumah keluarganya Bima, tempat mereka yang sudah dating ke malang dengan diantarkan oleh Mas Imam teman yang  saya kenal dari Forum Backpakcerindonesia.com, setelah itu kita juga gadering dengan teman-teman dari anggota Couchsurfing regional Malang. Pukul 4 pagi saya sudah bangun dan bersiap-siap, serta langsung menuju rumah keluarganya Mas Bima untuk berangkat bersama-sama mengunakan angkot yang sudah dicarter sebelumnya. Namun ternyata masih ada yang baru bangun tidur ketika saya datang, sehingga saya bias sedikit santai dan packing ulang dengan menambahkan beberapa logistic team ke dalam Ransel saya. Kita menyewa angkot untuk menuju pasar tumpang, namun sebelumnya kita singgah di terminal Arjosari untuk bertemu teman-teman yang lain, satu buah angkot khusus untuk barang kita dan kita berjejalan di dalamnya seperti ikan sarden, sayapun duduk di lantai, tak bisa bergerak. Akhirnya satu-persatu teman kita mulai berdatangan, namun teman kita berdua yang juga dari Kalimantan masih belum tiba, kita sempat khawatir kalau mereka nyasar lagi setelah sehari sebelumnya nyasar ke kota Blitar. Akhirnya diputuskan untuk sebagian team berangat duluan dan kita berempat tetap menunggu di terminal hingga mereka datang. Taklama akhirnya yang ditunggu mulai keliahatan batang hidungnya dan dengan Angkot warna putih kita segera menuju Pasar Tumpang untuk menyusul teman-teman yang lain. Dua cewek nekad..:-) Pose dulu dah Di pasar Tumpang kita belanja kebutuhan logistic yang kurang seperti Gas Kalengan dll, sayapun sempatkan mengupdate status yang terahir karena kedepannya kita tidak akan dapat sinyal. Dua buah mobil jeep jenis Toyota Hardtop yang telah dimodifikasi sedemikian rupa untuk mengangkut para pendaki sudah siap untuk mengantarkan kita menuju Ranupani, tempat dimana pendakian kita akan dimulai. Sebelumnya kita mengurus perizinan di kantor Pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Tumpang. Pantas saja Cuma mobil double gardan atau 4x4 yang direkomendasikan untuk menuju Ranupani, karena jalan yang dilalui benar-benar ekstrim, jalannya terus menanjak dan memutar bukit-bukit yang ada, gigi satu selalu menjadi pilihan sopir agar mobil tidak mundur ketika di tanjakan.    Walaupun kita berdiri berjejalan di belakang mobil yang sempit namun pemandangan yang indah yang kita lihat disepanjang jalan menuju Ranupani menjadi pengobat keletihan kita, kebun apel yang terlihat sedikit buahnya, hamparan padang sabana, tambah ke atas kita melihat lading-ladang penduduk yang berbaris rapi di perbukitan di kiri kanan kita. Ketika ada mobi dari arah berlawan mobil kita harus berhenti atau pelan-pelan untuk saling memberi jalan karena jalan yang masih banyak rusak ini sangat sempit, di kiri kita tebing sedangkan di sebelah kanan jurang. Danau / Ranu Pani Suku Tengger Desa ini dinmakan Ranupani karena ada danau yang ketika kita datang teman-teman mengira airnya sedang kering karena terlihat berwarna coklat, padahal hanya tertutup oleh eceng gondok yang telah tua sehingga membuat warnanya menjadi coklat, Ranu berarti Danau dalam bahasa setempat. Berada di ketinggian 2000 Dpl membuat penduduk setempat telah beradaptasi dengan cuaca yang dingin, topi kupluk dan sarung merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Suku Tengger. Di sini kita kembali melapor di pos penjagaan sehingga setiap tamu yang datang dan pergi tetap bias tepantau untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di atas gunung. Saya sempat benbaca saah satu kertas yang di temple di dinding yang ternyata isinya adalah daftar korban yang telah meninggal ketika mendaki Gunung tertinggi di tanah Jawa ini, membuat saya merinding. Banyaknya tenda dan logistik untuk 28 orang dalam rombongan ini membuat kita butuh tenaga beberapa orang porter. Namun adanya miskomunikasi dengan para porter membuat star pendakian agak terlambat, yang sebelumnya kita rencanakan pukul 2 sudah berangkat namun hingga pukul 3 kita masih berada di Ranupani. Bersama teman-teman dari Kalimantan saya menjadi kelompok pertama yang berangkat, setelah menuruni jalan aspal kita akan memasuki jalur pendakian yang sesungguhnya dengan mengambil jalan setapak  ke arah kanan bukan gerbang merah yang bertuliskan “selamat jalan”. Kemudian ada lagi pertigaan di jalan yang berpasir, jalan lurus menuju kebun penduduk sedangkan jalur pendakian kea rah kiri mengikuti tulisan “Ikutilah jalur track yang telah ditetapkan”. Jalur Pendakian Dari sini jalan terus menanjak walau tidak terjal, terus memutari punggungan bukit hingga tiba di pos 1 kami beristirahat. Begitu pula jalur menuju pos 2 cendrung sudah jelas tinggal mengikuti jalang yang sudah pernah di semen dengan paving blok. Kita harus sering merunduk karena banyak pohon yang elintang di tengah jalur pendakian hingga menyulitkan kita yang membawa carier tinggi, sebenarnya saya membawa carier 45 iter, namun saya menukarnya dengan teman wanita yang membawa carier yang lebih besar ketika di perjalanan untuk saling mebantu. Menjelas pos 3 ternyata satu ransel jatuh ke dalam jurang, hari makin gelap sehingga terlalu beresiko untuk turun mengambilnya kembali, lalu kita memutuskan untuk kembali mengambilnya besok pagi dan membuat tanda dengan tali rapia untuk memudahkan pencarian besok pagi. Malam yang makin gelap memaksa kita untuk mengeluarkan senter/headlamp masing-masing untuk menerangi jalan. Kita kebali beristirahat di pos 3 untuk sekedar mengisi perut dengan makanan kecil. Kabut yang makin tebal menambah dingin yang makin menusuk kulit saya yang hanya tebungkos kaos dan bantuan sarung, jaket akhirnya saya keluarkan dari ransel melindungi tubuh kurus saya yang kekurangan lemak dari dinginnya malam. Medan dari pos 3 mulai agak sulit, banyak lobang di jalan hingga kita harus hati-hati melangkah dan di tambah gelapnya malam  membuat perjalanan kita jadi melambat. Ketika mendekati Ranu Kumbolo kabut makin pekat, membuat jarak pandang hanya sekitar 5 meter di depan mata, cahaya dari headlamp pun menjadi terbatas, ketika menuruni sebuah turunan firasat saya Ranu Kumbolo makin dekat, namun hingga ke bawah ketika kita beristirahat di dekat sabuah batu besar danau cantik itu tetap tidak terlihat. Kita jadi disorietasi arah, teman-teman yang sudah pernah pun bingung ke mana jalurnya, kita akhirnya berpencar untuk mencari jalur yang tepat, dan akhirnya Aji menemukan jalurnya. Sebagian teman-teman  masih beristirahat namun saya ikir makin cepat sampai maka makin cepat juga bias beristirahat, bayangan hangatnya tenda terus menari-nari dalam kepala saya. Saya berjalan di depan dan yang saya tahu saya hanya terus berjalan mengikuti jalan setapak dan ketika meliaht ke arah kiri tak terlihat dasarnya ketika saya sorotkan headlamp saya yang kalah oleh kabut. Menemukan patok puth dengan ujung kuning seperti menemukan air di panasnya gurun, dengan yakin saya terus melangkah mengikuti jalan yang ada, namun teriakan teman-teman di belakang langkah saya kadang berhendi untuk menunggu, bersama di Emak akhirnya kita terlebih dahulu tiba di pondok Ranu Kumbolo, namun danau impian saya itu masih belum terlihat!. Setelah tean-teman yang lain datang kita segera mendirikan tenda, memang sebagian tenda sudah dipasang oleh para porter, namun tetap saja kita harus menyusun kembali agar posisinya pas. Sebagian teman perempuan memask untuk makan malam kita yang memang sudah agak terlambat. Jaket tebal saya tidak mampu untuk menahan serangan dinginnya Ranu Kumbolo yang sedang berkabut, sarung yang saya pakai di luar hanya sedikit membantu. Berselimut kabut Ranu Kumbolo Setelah masak kita segera makan dengan nasi yang sudah di bungkus sejak di Ranupani yang kemudian di bagi untuk dua orang, lumayan lah untuk menghangatkan perut yang sudah agak kosong. Setelah makan saya segera masuk ke tenda barunya Mas Iman, namun karena hanya tidur berdua dinginnya jadi lebih berasa, padahal sudah memakai kaos kaki 2 rangkap lengkap dengan kaos tangan dan jaket lebar di tambah balutan Sleeping  Bag. Bangun pagi-pagi dengan harapan bisa menikmati Sunrise Ranu Kumbolo yang terkenal indah, tapi ternyata yang terlihat hanyalah kabut dank abut tebal, tak ada benda merah bundar yang hangat itu. Agak siang barulah saya melihat sang mentari, permukaan danau tampak seperti berasap. Saya coba mencelupkan jari ke dalam airnya, Brrrr….sekujur tubuh rasaya ikut membeku, dasar tak tahan dingin!. Di Ranu Kumbolo inilah biasanyapara mendaki mendirikan tenda sebelum melanjutkan pejalanan menuju Mahameru, di danau ini kita juga bisa memancing karena ada banyak ikan di dalam danau ini, bahkan burung-burung juga banyak yang mengantungan hidur di sini. Luas Ranu Kumbolo mencapai 14 ha dan berada di ketinggian 2.400 dpl, jadi wajar kalau di sini sangat dingin, bahkan katanya suhu bias mencapai minus 4 hingga botol air mineral yang berisi air membeku. Dua orang teman dari Mapal Apache beserta yang punya tas kembali untuk mencari ransel yang jatuh tadi malam, sedangkan kami besiap-siap packing dan tak lupa pula narsis-arsisan sambil menunggu makan pagi. Walau keindahan Ranu Kumbolo sudah tampat namun saya masih belum bernafsu untuk mengabadikannya ke dalam camera saya. Saya masih ingin menikmatinya sambil bermalas-malasan. Tanjakan Cinta Ketika pukul 9 pagi teman yang mencari ransel masih belum kembali juga, akhirnya team memutuskan untuk sebagian team berangkat terlebih dahulu menuju Kalimati dan beberapa orang menunggu di Ranu Kumbolo, Sebenarnya saya masih ingin menunggu karena agak khawatir dengan teman satu daerah, namun oleh korlap saya ditugaskan untuk berjalan terlebih dahulu dengan wisnu dan Raisan bersama porter, okelah mumpung masih fit. Saya tidakperduli dengan mitor tanjakan cinta, yang katanya ketika mendaki tanjakan ini tidak boleh menoleh ke belakang sambil memikirkan orang yang dicintai maka cintanya akan awet, tapi saya terus-terusan menoleh ke bawah karena semakin ke atas pemandangannya makin indah, di tambah juga dengan nafas yang satu-dua membuat saya sering berhenti untuk sekedar menghirup udara segar. Ora-ora Ombo Setelah melewati tanjakan cinta kita akan dihadapkan dengan sebuah padang sabana yang luas, dengan vegetasi ilalang dan seak belukar yang telah menguning, ada dua jalur yang bias diikuti untuk menuju Ora-ora Ombo, yaitu setelah Tanjakan Cinta langsung mengikuti turunan yang agak curam namun lebih cepat atau ke sebelah kiri mengikuti punggungan bukit tapi agak memutar. Perjalanan di padang sabana ini menjadi tak terasa karena kita sambil berbincang-bincang dan bertanya kepada mas Porter yang bersama kita. Cemoro Kandang Di gerbang masuk menuju hutan Cemoro Kandang sebagian porter yang telah berjalan terlebih dahulu sedang duduk-duduk utuk istirahat, dan ereka langsung berangkat tak lama setelah kedatangan kita. Sedangkan kami tetap beristirahat sambil menunggu rombongan yang ada di belakang. Medan di Cemoro Kandang kebanyakannya agak menanjak, namun jalurnya jelas tinggal mengikuti jalan setapak yang ada, asal tidak membuat jalur sendiri saya kira tidak akan tesesat di sini. Entah bagaimana para tokoh dalam novel 5 CM bias tersesat di sini, bisa jadi dulu  jalurnya masih rimbun dan tak sejelas sekarang atau itu hanyalah imajinasi kreatif dari sang pengarang,  namun yang pastinya setelah membaca novel ini membuat saya makin termotifasi untuk mendaki Gunung Semeru. Kami kembali beristirahat di laharan, sebuah tempat yang agak bereda dari sekitarnya, yaitu berupa batu-batu kecil bekas aliran lahar. Selepas itu jalan masih agak menanjak  hingga kita tiba di Jambangan, dari sini kita bias melihat puncak Mahameru yang berdiri gagah, namun lagi-lagi kabut menutupinya. Setelah melewati taman bunga edelweiss medan mulai bervariasi, ada sebagian jalan yang menurun engsel lutut saya mulai terasa sakit namun tak saya hiraukan dan teta saya paksakan untuk tetap melangkah.

Kalimati Akhirnya setelah berjalan selama kurang lebih 4 jam akhirnya Kalimati mulai tampak, dimulai dengan adanya papan petunjuk arah dan papan peringatan larangan untuk mendaki ke puncak karena pendakian hanya dibuka sampai pos Kalimati ini. Kaena tujuan sudah terlihat sayapun berjalan agak pelan sambil jepret sana-sini. Tak banyak yang bias dilakukan di sini, hanya istirahat untuk persiapan summit dini hari besok. Sambil mengurut-urut lulut saya yang bemasalah saya sempat berfikir, sanggupkah kaki dengan keadaan lutut seperti sekarang ini untuk terus dibawa melangkah hingga Mahameru, namun saya yakin segala sesuatu harus di coba, kalau belum mencoba sudah menyerah itu buka prinsip saya. Malamnya setelah briefing yang agak panjang dan persiapan untuk perlengkapan summit attack besok dini hari saya segera beristirahat di tenda, namun kali ini kami tidak berdua karena kami mengajar Adit dan Faris yang juga dari Banjarmasin Traveler dan mereka mendaki cuma berdua tidak ikut rombongan dan sudah tiba di Kalimati sehari sebelum kami. Cara ini cukup efektif untuk mengusir dingin dengan berdesak-desakan menjadi di dalam tenda lebih hangat, walau badan terjepit dan tidak bisa bergerak yang penting hangat dan bisa tidur nyenyak, di samping factor kelelehan mungkin setelah seharian berjalan. Pukul 12 malam saya sudah terbnagun karena alarm teman di tenda sebelah, namun tampaknya yang bersangkutan masih belum sadar karena alarmnya terus-terusan berbunyi. Rasa dingin harus saya kalahkan untuk keluar dari tenda dan segera menuju bekas ap unggun kecil yang sudah padam namun masih mengeluarkan hawa panas, lumayan untuk menghangatkan badan. Ah, biasa lah kebisaan orang Indonesia, yang tadinya direncanakan untuk memulai pendakian pukul 1 akhirnya pukul 2 baru kita berangkat, di samping menunggu masaknya bihun untuk sarapan, walau hal ini sebenarnya kurang tepat dan terbukti banyak teman yang mual-mual karena perut baru saja terisi langsung jalan, seharusnya perut di beri waktu terlebih dahulu untuk besistirahat minimal 1 jam kalau dalam olahraga. Dari kalimati medan terlebih dahulu menurun ke arah utara. Duh, dari sini lutut saya kabuh lagi hingga terasa sakit ketika kaki dilipat untuk melangkah, namun saya terus melangkah dan medannya berganti dengan teru terusan menanjak di kegelapan malam,headlamp saya tampaknya sudah mulai agak berkurang terangnya, namun untuk mengganti baterai  saya piker nenti saja menunggu waktu istirahat karena jalan masih terlihat di tambah dari cahaya senter tean-teman yang lain. Karena formasi pendakian yang diatur bahwa cowok harus mendampingi cewek maka saya terus mengikuti pasangan saya. Arcopodo mulai terlihat namun kami hanya istirahat sebentar dan di sini ada dua buah tenda, kayaknya punya bule yang telah mendaki terlebih dahulu. Ah, rupanya ni lulut tak bisa diajak kompromi, sambil sebentar-sebentar istirahat saya mengurut-urut kaki saya, tampanya cidera lama akibat pertandingan Taekwondo ini kini menjadi sering kambuh lagi, sabil teris melangkah saya berfikir kapankah batas vegetasi akan terlihat, seperti lgau “Mahameru”nya Dewa 19 yang terus mengalir dalam benak saya. Mendaki melintas bukit Berjalan letih menahan menahan berat beban Bertahan didalam dingin Berselimut kabut `Ranu Kumbolo` Menatap jalan setapak Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir Mereguk nikmat coklat susu Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda Bersama sahabat mencari damai Mengasah pribadi mengukir cinta Reff : Mahameru berikan damainya Didalam beku `Arcapada` Mahameru sebuah legenda tersisa Puncak abadi para dewa Masihkah terbersit asa Anak cucuku mencumbui pasirnya Disana nyalimu teruji Oleh ganas cengkraman hutan rimba Bersama sahabat mencari damai Mengasah pribadi mengukir cinta Bersama sahabat mencari damai Mengasah pribadi mengukir cinta Semakin menanjak ke atas debu semakin banyak untungnya masker yang saya pakai cukup membantu hidung dan mulut saya dari terjangan debu. Akhirnya setelah berkali-kali istirahat akhirnya sampai juga kita di batas vegetasi dimana tak ada lagi tumbuhan, yang ada hanyalah pasir dan batu. Dari sinilah medan summit menuju puncak Mahameru yang sesungguhnya dimulai, dengan melalui jalan setapak yang bekas longsor membuat kita salingberpegangan untuk membantu yang lainnya, langkah 3-2 yang sering say abaca di blog-blog perjalanan teman-teman yang pernah mendaki sebelumnya akhirnya saya temuai juga, kita naik tiga langkah namun merosot kembali dua langkah oleh batu dan pasir yang menjadi medan pendakian. Dari sini anggota team mulai terpisah sesuai dengan kemampuanya masing-masing, berjam-jam bergulat dengan pasir mahameru membuat sunrise kita lewatiketima masih menanjak dan tak dapat saya nikmati karena terhalang oleh lereng di sebelah timur , saya yang asalnya berada di barisan terdepan pelan-pelan menjadi semakin terbelakang karena banyak teman-teman yang telah menyusul saya, sebentar-sebentar saya berhenti untuk mengurut lulut saya yang makin parah hingga sangat menyakitkan ketika ditekuk dan mendaki dengan kaki kanan yang terus diluruskan memang sungguh keadaan yang menyiksa, keadaan semakin terang namun dingin masih tetap menusuk. Saya berhenti agak lama dengan harapan masih bisa untuk memaksakan kaki saya, ketika melihat ke atas puncak yang kita tuju masih belum tampak, namun ketika menengok ke bawah asih banyak teman-teman yang berusaha walau dengan terseok-seok  membuat saya tetap bersemangat untuk terus melangkah . Tapi rupanya semangat saja tidak cukup untuk menggapai Mahameru, sayapun kembali teringat bahwa puncak ituletaknya di sini (sambil menepuk dada). Dan berfikir resiko apa bila saya terus memaksakan kaki saya untuk tetap berjalan maka sepulang dari sini lulut saya harus istirahat dan mendapat perawatan sedangkan sehari kemudian setelah turun saya kembali menerusnya perjalanan saya ke NTT, perjalanan masih jauh dan lama. Perjalanan menuju Puncak Lalu sayapun memutuskan untuk berhenti sambil terus memberi semangat teman-teman yang tetap mendaki dan memilih untuk menikmati pemandangan dari tempat saya berada, di sebelah kiri tampak di antara awan menyembul puncak gunung Arjuna Welirang, sedangkan di depan saya terhampar perbukitan yang telah kita lalui sebelumnya, Ranu Kombolo tertutup oleh bukit dan tampaknya masih berkabut, lbih ke kana terlihat kepulan asap dari Gunung Bromo yang belum pernah saya tapaki sebelumnya dan masih menunggu saya tampaknya. Sedangkan di arah kanan di bawah matahari yang bersinar tampak sebuah puncak yang saya tidak tahu itu gunung apa. Ini "Puncak" saya Di bawah saya tapak beberapa orang tean yang memiliki puncaknya tersendiri, akhirnya sayapun memilih untuk turun bergabung dengan mereka daripada saya termenung sendirian di sini, foto-foto menjadi kegiatan kami di “Puncak” kami itu. Sya juga berdiri di atas batu sambil takut-takut jatuh dan mengibarkan bendera merah putih, bergantian kami saling memoto, dan pastinya sebagai yang punya camera saya menjadi yang sering memoto, kebetulan ada juga pasangan yang berada di situ, foto prewedding katanya..hehe Matahari aga tinggi ketika kami memutuskan untuk turun terlebih dahulu, rupanya yang menderita sakit di lutut tidak hanya saya, si emak juga sama, sambil dibopong oleh Mbah mereka berjalan terlebih dahulu, kaki saya yang agak pulih setelah saya urut-urut terus bisa saya bawa berlari-lari turu, ya ketika turundari mahameru memang jauh lebih gampang dari naiknya, kalau naiknya bisa sampai 4 atau 5 jam turunnya hanya dengan 1 jam perjalanan karena bisa berlari , namun tetap harus hati-hati karena waktu turunlah banyak pendaki yang terlalu asyik hingga keuar jalur dan masuk ke jurang. Di batas vegetasi kita kembali beristirahat untuk menunggu mas Amin dan mbak Yani yang masih di atas kita, ketika mereka datang kita segera melanjutkan perjalanan, namun di sini dalam medan yang menurun lutut saya kembali kambuhn pelan-pelan serta saling bahu-membahu kita terus melangkah dengan kaki kanan yang terus diluruskan. Sampai arcopodo kita kemali istirahat dan salah satu teman ada yang punya hajat yang harus dituntaskan hingga ita beristirahat cukup lama di sini, bau pesing menyengat hidung di samping tempat kita beristirahat, namun saya tidak perduli, saya merebahkan badan sambil memijat kaki saya yang sakit. Dalam perjalanan turun kita tersusul oleh beberapa pendaki dari klaten, yang lebih mengejutkan lagi saking lambatnya mbak Maya yang sudah berhasil mencapai puncak  bisa menyusul kami. Setibanya di perkemahan saya membersihkan badan dengan tisu basah di tenda bersama adit yang tidak ikut muncak karena sudah menggapai Mahameru sehari sebelumnya. Sarapan di Kalimati Tak banyak yang saya lakukan di kalimati, sebenarnya menurut rencana kami sudah harus kembali ke Ranu Kumbolo siang itu, namun tampaknya teman-teman masih banyak yang kelelahan dan tidur di dalam tenda sehingga kita masih bertahan di sana, ketika melihan teman ke Sumbermani untu mengambil air sayapun ikut bergabung untuk mengetahui bagaimana satu-satunya sumber air di sini, perjalanan menuju Sumbermani hampir setengah jam melalui bekas aliran lahar, pasirnya terasa dingin seali, waktu itu saya hanya menggunakan celana pendek dan untungnya membawa sarung yang cukup membantu untuk menahan dingin. Pemandangan di Sumbermani ternyata juga tak kalah bagus, kita bagaikan berada di sebuah jurang dengan dinding tebing yang tinggi dan berlumut, di sebelah kiri ada dua buah sumber air kecil yang terus-menerus mengeluarkan air, walaupun dengan jumlah yang kecil seperti air kencing, mungkin karena itulah disebut Sumbermani. Karena sakit perut yang tak tertahankan lagi saya mempersiapkan botol air  untuk cebok dan segera mencari posisi yang nyaman ke bagian hilir, namun di sini banyak bertebaran ranjau-ranjau darat yang tak ditutupi, padahal kucingpun malu dengan kotorannya hingga setiap habis buang air besar pasti mengais-ngais pasir untuk menimbunnya. Lantas apakah kucing lebih punya malu dari manusia? Dari porter yang datang mengambil air saya dapat kabar bahwa kita akan turun besok pagi dan akan tetap di Kalimati malam ini. Malam yang dingin membuat kita betah mengelilingi api unggun, namun hanya bagian depan yang terasa hangat, sedangkan bagian belakan tetap saja terasa dingin. Sebagian teman-teman sedang asik main Uno, dan saya memutuskan untuk ikut bergabung dengan mereka, kami asik bermain sampai mengantuk. Mahameru dari kejauhan Dinginnya pagi membuat malas untuk keluar tenda hingga melewatkan moment surise, namun tetap foto-foto di antara sinah matahari pagi yang sudah mulai meninggi. Setelah packing kita kemali melanjutkan perjalanan pulang menuju Ran Kumbolo, memang ketika pulang terasa lebih cepat daripada kita berangkat dan mendaki, disamping jalannya yang cendrung lebih banyak menurun. Ketika melewati Ora-Ora Ombo kita bemaksud untuk memutung jalan agar lebih cepat, ternyata walaupun lebih pendek sedikit namun tanjakannya lebih exstrim dan lebih menanjak sehingga membuat nafas kita ngos-ngosan dan harus sering berhenti. Namun pemandangan Ranu Kumbolo dari atas membayar kelelahan kita, permukaan danau yang biru begitu sedap di pandang mata hingga kita meluangkan waktu sedikit lebih lama di puncak bukit untuk bersantai menikmati keindahan Ranu Kumbolo. Kita trurn dengan mengikuti jalan yang memutar ke arah kiri danau, tidak melalui Tanjakan Cinta kembali. Di Danau tak lupa saya mengabadikannya ke dalam camara saya dengan lensa pinjaman dari teman saya yang lebih lebah jangkauannya. Rasanya tak puas dan tak rela untuk meninggalkan Ranu Kumbolo secepat itu, namun hari itu juga kita harus kembali ke Ranupani karena sebagia teman akan melanjutkan perjalanan ke Gunung Bromo dan Pulau Sempu, sebagian ada yang langsung pulang ke rumah masih-masing, sedangkan perjalanan saya masih panjang. Di perjalanan pulang menuju Ranupani saya kehabisan baterai camera, sehingga harus puas hanya dengan memandang keindahan Ranu Kumbolo dari jalur pulang kita. Singkat cerita akhirnya kita sampai di Ranupani dansaya langsung memesan Bakso malang yang hangat untuk tubuh saya. Foto keluarga dulu Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, begitu pula dengan kebersamaan kami, canda tawa serta suka duka yang telah kami alami selama perjalanan ini harus kita akhiri, namun setiap kenangannya tak akan terlupakan, sampai jumpa saudara-saudara ku. Namun aku bertekad suatu saat akan kembali lagi ke sini untuk menuntaskan hajat yang tertunda dan mencumbui Mahameru, puncak tentinggi di tanah Jawa. Thanks to team Elkape yang tergabung dalam pedakian Gunung Semeru, Yudhistira Rangga, Sandra Mariana, Indah Maharani, Delta Alevi, Euis Faradhillah, Raisan Al Farisi, Fikri Rezqan, Bima A. Putra, Fika Astari, Togi Tambunan, Dian Shiloh Mariany, Yani Pahlawiyanti, Haryo Bimo S, Eko Saputra,  Felisianus Jeremy Andrian, Harni, Atmaji Priyo Hutama, Agus Purwantoro, Rudy Sanjaya, Amin Mubarrak,Yani Indriati, Wisnu Pramuliawardani, Delly Andrian, Andy Rahman, Uni Herawati. Mayoz Maia, dan Iman Rabinata. Foto-foto yang lain bisa dilihat di Sini. (Namun sebagin foto hilang dan saya baru sadar satu bulan kemudian)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline