Kemarin malam Mas Muh menertawakanku perihal apa yang sudah aku lakukan kepada seorang teman. Ya, kemarin sore aku menulis pesan singkat kepada salah seorang teman yang beberapa hari belakangan mengeluh tentang kondisi yang dialaminya. Isi pesan singkat kemarin kurang lebihnya seperti ini “Jangan lihat ke atas terus, sesekali lihatlah ke bawah, banyak orang yang tidak lebih beruntung darimu”.
“Sampeyan ini seperti anggota Majelis Ulama saja Mas!”, kata Mas Muh kepadaku sambil tertawa cengengesan.
“Lho, memangnya ada yang salah Mas Muh”, balik aku bertanya kepada Mas Muh, dengan sedikit menggugat tentunya.
“Bukan, bukan masalah benar atau salah!”, begitu jawabnya. Setelah menghisap kreteknya dalam-dalam Mas Muh melanjutkan “ Bahkan dari sudut tertentu apa yang sudah Sampeyan lakukan itu bisa di katakan sebagai hal yang baik, kalau memang maksudnya mengingatkan agar teman Sampeyan itu tetep besyukur dan tidak protes sama Gusti Allah”
Tentu saja uraian Mas Muh tadi membuat aku bingung, lha wong dari anatomi tertawanya jelas-jelas Mas Muh itu menertawakan aku je..
“Lantas apa yang membuat Mas Muh menertawakan saya?” tanyaku kepada Mas Muh.
“Begini Mas, coba pikirkan lagi apa yang sudah ‘njenengan sampaikan lewat pesan singkat kemarin itu. Kalau kita melihat apa yang menurut anggapan kita posisinya ada di bawah kita, dan kemudian kita merasa lebih baik dari mereka. Apa itu ‘ndak berarti kita menganggap mereka tidak atau kurang di beri rahmat ataupun rejeki sama Gusti Allah?”. Sembari membetulkan letak duduknya Mas Muh melanjutkan, “Menurut apa yang saya yakini, Gusti Allah itu maha mengetahui dan maha adil, tentu saja yang benar-benar tahu ukuran dan proporsi keadilan itu ya cuma Gusti Allah. Apa yang menurut sistematika cara berpikir kita baik, belum tentu baik menurut Allah. Kita cuma di beri kemungkinan untuk berbaik sangka sama Gusti Allah dan terus berharap agar dalam memandang kehidupan ini kita tidak terlalu berbeda jauh dengan cara Gusti Allah memandang kehidupan”.
Sambil manggut-manggut aku mengingat kembali jawaban Mas Muh.
“Dan, meskipun Tuhan itu Maha Adil, kita semua berharap agar Gusti Allah tak menghakimi kita dengan keadilan Nya, karena kita ini sudah terlalu banyak berbuat tidak adil terhadap Nya, hanya Rahmat Nya lah yang cuma jadi harapan kita.”, tambah Mas Muh.
Dalam hati berkelakar, Seandainya buka layanan kata-kata mutiara melalui pesan singkat seperti yang ramai belakangan ini, bisa-bisa Mas Muh bakal menertawakanku seumur hidup.
Membicarakan Mas Muh, jadi teringat Ajo Sidi tokoh dalam cerita pendek A.A. Navis “Robohnya Surau Kami”. Dalam cerpen legendaris itu Ajo Sidi bercerita kepada Kakek Penjaga Surau tentang seseorang yang bernama Haji Saleh. Seorang yang ketika dihadapkan pada pengadilan Tuhan merasa yakin apa yang telah dilakukannya selama di dunia telah memenuhi syarat-syarat untuk dimasukkan ke dalam Surga, namun ketika dilakukan interogasi atas diri Haji Saleh, ternyata apa yang dilakukan di dunia belum memenuhi syarat agar dirinya di masukkan ke dalam surga. Pada gilirannya Haji Saleh dan teman-teman senasibnya menghadap Tuhan meminta klarifikiasi atas apa yang telah menimpa dirinya dan teman-temannya.