Lihat ke Halaman Asli

Herman Wahyudhi

PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Dunia Tanpa Buku

Diperbarui: 13 Januari 2020   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gramedia Blok M (foto: twitter.com/gramediamelawai)

Kemajuan teknologi membuat buku semakin tergerus.   Salah satunya adalah berkembangnya buku on-line dan e-book.   Teknologi ini membuat pembaca mudah membacanya di mana saja dan tentu saja ringan.  Dalam satu genggaman, ia bisa membawa ribuan buku di dalam gawainya.  Berbeda dengan buku konvensional (dalam wujud fisik).  Bawa dua buku saja kadang merepotkan.

Saya pernah kuliah di Depok.  Tiap minggu saya bela-belain untuk berkunjung ke toko buku (TB) Gramedia di Blok.  Waktu itu tahun 1992.  TB Gramedia saat itu tiga tingkat.  Lantai satu buku tulis dan ATK. Lantai 2 buku komputer dan umum, lalu lantai 3 berisi koleksi buku agama dan buku sekolah.    Berangsur-angsur TB Gramedia Blok M ini mulai sepi ditinggalkan penggemarnya.  Bukan karena ada toko buku baru tetapi karena itu tadi, kemajuan teknologi.  E-book mudah didapatkan dan murah dibandingkan buku.

Lantai 3 mulai dihilangkan.   Tinggal lantai 2.  Tak lama kemudian yang digunakan hanya lantai 1.  Otomatis judul buku yang dijual menjadi terbatas.  AC-nya pun sudah tak sedingin dulu.   Terakhir saya berkunjung ke TB Gramedia, buku yang saya cari tak ada.   Buku-buku lain pun yak banyak.   Berbeda dengan 25 tahun.  Maaf, pengunjungnya waktu itu hanya saya sendiri.    Kini toko buku Gramedia pun saat ini sudah berubah menjadi toko gaya hidup, bukan sekadar toko buku.  Buku hanya mengisi 40 persen ruangan, sementara 60 persen diisi produk-produk lain.

Gramedia sendiri akhirnya menggembangkan layanan pesan buku on-line (on demand).   Selain menghemat biaya pengeluaran untuk mencetak, menyimpan di gudang, atau menjualnya di toko. Teknologi memang merubah segalanya.  Tutupnya banyaknya toko buku ini sudah diperkirakan jauh-jauh hari oleh para peneliti.    

Hal yang sama terjadi dengan TB Gunung Agung di dekat Halte Busway Senen.   Sewaktu kuliah di daerah Cempaka Putih (tahun 2000-an), hampir tiap minggu saya mampir ke toko buku ini.   Jam bukanya hanya hingga jam 19.00.  Tapi lumayan banyak koleksinya (tapi tak sebanyak koleksi buku TB Gunung Agung di Kwitang).

Untuk menghilangkan stress dan penat sehabis kuliah, biasanya saya mencari buku novel atau agama di TB ini.  Sayang dua atau tiga tahun lalu sudah tutup.   Tergerus zaman.  Mirip dengan TB Gramedia, TB Gunung Agung semakin sedikit pengunjunngnya.  Hanya satu dua orang.  Lebih banyak pegawainya dibandingkan pengunjung. 

Toko-toko buku di seantero dunia banyak mengalami hal serupa.   Dulu waktu naik bus umum (busway belum ada), penumpang banyak yang membaca buku atau koran.   Apalagi kalau busnya ngetem lama atau terjebak kemacaten, koran adalah penyelamatan dari kebosanan.   Sekarang? Dapat dikatakan tak ada yang membaca koran, apalagi buku di bus.  Mereka sibuk membaca berita terbaru atau e-book di gawai.  Tukang koran di halte bus atau terminal yang saya kenal, satu persatu menghilang dan alih profesi.   Demikian pula kedai koran di dekat rumah, sudah banting stir.

Tapi antusias orang untuk membeli bukui tetap tinggi.  Buktinya saat acara pameran buku Big Bad Wolf di Indonesia, pengunjungnya selalu membludak.   Mereka tak segan-segan mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah.  Saya pun demikian, meski harus menahan hasrat memboyong banyak buku.  

Bill Gates dan Koleksi Buku (foto: onedio.com)

Mencium aroma buku, menyentuh kertas, mencoret catatan di sisi buku, menjadi keasyikan sendiri.  Buku selain menambah pengetahuan juga menghilangkan stress.   Rasanya nyaman dan senang  melihat koleksi buku-buku tertata rapi di rak.  Penggamar buku tak akan punah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline