Lihat ke Halaman Asli

Herman Wahyudhi

PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Mampir ke Benteng Vredeburg dan Malioboro

Diperbarui: 22 Januari 2019   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerbang Benteng Vredeburg (foto pribadi)

Di antara kesibukan kegiatan kantor, saya menyempatkan diri mampir ke Benteng Vredeburg dan Malioboro.  Lokasi Benteng Vredeburg sendiri sebenarnya masih ada jalan Malioboro, dekat dengan Pasar Beringharjo. 

Begitu acara penutupan kegiatan pada pukul 14.00, saya bergegas ke depan lobi hotel.   Ojek online (ojol) sudah menunggu di pintu masuk area hotel karena ojol dilarang masuk.

"Oke Pak, langsung ke banteng Vredenburg."

Bedanya Ojol di Yogyakarta, mereka lebih sopan dan lambat.  Beda dengan ojol yang biasa saya tumpangi di Jakarta yang bergegas dan nge-gas.  Sehingga sepanjang perjalanan saya bisa menikmati pemandangan Kota Gudeg dengan lebih lama.  

Ternyata lokasi hotel dan Benteng Vredenburg tidak begitu jauh.  Hanya 10 menit.   Jalan di pelataran parkir di area banteng yang cukup luas, saya berhenti sebentar untuk mengabdikan bangunan banteng. Bentengnya sendiri dikelilingi oleh sebuah parit (jagang) yang sudah direnovasi oleh Pempov DI. Yogyakarta.   Sewaktu berkunjung ke sana, air yang ada di parit cukup bersih dan tak ada sampah.   Karcis masuk untuk wisatawan lokal dewasa murah meriah, hanya 3.000 rupiah.  

karcis masuk (foto pribadi)

Denah Benteng Vredeburg (foto pribadi)

Benteng Vredeburg berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak).   Perseteruan ini tak lepas dari campur tangan Belanda yang ingin memecah belah kekuatan raja-raja di Jawa.

Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, Belanda mulai merasa khawatir.    Mereka pun minta izin kepada Sultan untuk membangun banteng tak jauh dari istana.  Alasannya agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Padahal tujuan sebenarnya untuk memudahkan memonitoring dan mengotrol perkembangan yang terjadi di dalam dan sekitar keraton.  

Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai sarana intimidasi, benteng strategi, penyerangan atau blokade.   

Di dalam lingkungan banteng banyak patung-patung dengan pakaian khas militer Belanda pada jamannya, pakaian para pejuang, dan juga rakyat jelata.  Terdapat beberapa peninggalan masa lalu yang cukup unik.  Selain itu di dalam bagunan benteng banyak diorama yang menceritakan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Yogyakarta.  

jogja2-5c46df37ab12ae16506c6184.jpg

Seperti diorama pembangunan selokan Mataram pada jaman penjajahan Jepang.  Tujuan Sri Sultan Hamengku Buwono membangun saluran irigasi yang menghubungkan sungai Progo dengan sungai Opak adalah agar masyarakat tidak dikerahkan untuk kerja Romusha.  Hingga jumlah korban penduduk Yogya akibat proyek kerja paksa tersebut dapat dikurangi.  Maka tak salah bila Hamengku Buwono IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Sukarnoputri.

Diorama Selokan Mataram (foto pribadi)

Keterangan diorama (foto pribadi)

Suasana di dalam benteng waktu itu cukup sepi sehingga terkesan horror.  Hanya ada segelintir pengunjung saja saat itu di dalam koridor bangunan.   Apalagi saat itu sedang mendung dan udara di dalam ruangan ber-AC terasa semakin dingin.  
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline