Sebentar lagi Lebaran tiba. Ketika Lebaran tiba waktunya berkumpul dengan handai taulan dan keluarga. Apalagi Lebaran selalu bersamaan dengan libur panjang. Dan itu artinya jalan-jalan. Kami hampir selalu berlebaran di Kota Bandung, Jawa Barat. Praktis liburan kami tak jauh-jauh dan Kota Bandung.
Daftar obyek wisata macam Kampung Gajah, Rumah Sosis, Floating Market, dan hampir semua obyek wisata pernah kami kunjungi. Termasuk di antaranya Gunung Tangkuban Perahu. Nama Gunung Tangkuban Perahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, jatuh cinta kepada Dayang Sumbi/Rarasati. Dayang Sumbi tak lain adalah ibunya sendiri.
Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat sebuah telaga dan sebuah perahu dalam semalam. Alkisah usahanya gagal dan Sangkuriang mengamuk dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu. Memang kalau dilihat-lihat kawah yang terbentuk memang mirip perahu terbalik. Dan ini menjadi daya tarik sendiri buat wisatawan.
Tahun lalu, kalau tak salah H+4 Lebaran, kami sepakat untuk berkunjung ke Tangkuban Perahu. Lokasinya lebih dekat dan tidak semacet ke arah obyek wisata lainnya. Gunung Tangkuban Perahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Jadi cukup dingin, kalau bawa anak-anak disaran menggunakan baju yang agak tebal atau jaket. Tiket masuk perorang 20 ribu rupiah, kalau hari libur atau hari besar (seperti Lebaran kali ini) tarifnya 30 ribu rupiah. Memang cukup mahal.
Kami berangkat dari rumah jam 7.30 pagi. Jaraknya sekitar 40 km dari tempat kami di daerah Buah Batu Bandung. Perjalanan santai memakan wakyu sekitar 1 jam. Benar saja, sampai di Tangkuban Perahu tak terlalu macet. Mencari parkir pun tak sulit karena masih banyak tempat kosong. Ini baru namanya liburan. Tidak cape dan bisa jalan-jalan di obyek wisata Tangkuban Perahu. Sayang di beberapa spot masih saja ada pengunjung yang membuang sampah sembaragan.
Kami sempat makan jagung, sosis bakar, gorengan, kacang, makanan apa saja yang kami temukan akan kami coba. Namanya juga mumpung liburan dan harganya juga masih terjangkau (meski lebih mahal dibanding hari biasa). Permainan oray-orayan (ular-ularan) juga kami beli buat anak-anak. Termasuk gantungan kunci dari batu dengan motif tulisan tangkuban perahu juga kami beli. Termasuk kain selempang buat leher, saya beli. Sekali lagi, mumpung lebaran.
Hawanya memang cukup dingin dan berkabut. Namun pengunjung di tempat ini sudah ramai. Saya tak tahu sejak jam berapa mereka ada di sini. Saya saja tiba jam 9 pagi sudah ramai. Bahkan semakin siang, pengunjung bukan berkurang tetapi semakin banyak. Tak lupa kami makan mie cup buat menghangatkan badan.
Pulangnya baru kami terjebak kemacetan. Sejak dari turun dari Tangkuban Perahu, mobil berjalan merambat. Rupanya banyak pula mobil dari arah Lembang bertemu dengan arus mobil dari Tangkuban Perahu. Terjadi kemacetan panjang.
Jam 10.00 malam kami baru tiba di rumah. Itu gara-gara macet. Maunya senang-senang malah jadi senewen. Anak-anak juga kecapean. Untungnya merka bisa tidur di dalam perjalanan pulang. Masih untung kami bawa bekal nasi bungkus dan camilan. Sebab beberapa rumah makan yang kami kunjungi, makanan yang tersedia sudah ludes diserbu oleh mereka yang terjebak kemacetan. Polisi memberlakukan sistem buka tutup. Waduh, anak-anak pada rewel lagi minta pipis.
Lebaran tahun ini, kami memilih liburan di Kota Bandung saja atau Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H