Hampir setahun lalu saya berkunjungi ke Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar). Bukittinggi adalah kota terbesar kedua di provinsi Sumbar. Kota ini juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatera dan Provinsi Sumatera Tengah. Bukittinggi pada zaman kolonial Belanda disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya dijuluki sebagai Parijs van Sumatra.
Saya menginap di sebuah hotel di dekat Jam Gadang. Hari pertama okelah sarapan di hotel. Menunya standar, menu utamanya adalah nasi goreng. Tahu sendirilah menu hotel begitu-begitu saja.
Hari kedua saya putuskan untuk mencari sarapan di sekitar hotel saja. Setengah tujuh pagi saya sudah keluar hotel. Udaranya tidak terlalu dingin. Persis di samping hotel ada pedagang souvenir sedang membereskan barang dagangannya berupa gelang, gantungan kunci, kaos, kain, dan sebagainya. Rupanya ia baru mulai menjajakan dagangannya.
"Ayo Mas, souvenirs khas Bukittinggi. Ada kaos, gantungan kunci....."
"Terima kasih," saya menolak halus.
Terlihat anak-anak sekolah mulai berangkat sekolah. Saya tidak tahu mereka masuk jam setengah delapan atau jam delapan. Jam tujuh kok masih banyak anak-anak sekolah di jalanan. Sempat melintasi patung Bung Hatta.
Tapi kok saya tidak melihat ada penjual kue atau bubur ayam ya? Padahal perut sudah lapar. Ah, barangkali sudah dekat. Tak berapa lama sampailah di Jam Gadang yang kesohor itu. Tapi kok masih sepi.
Hanya ada beberapa ibu yang sedang senam bersama. Selain itu tak ada kegiatan menyolok lain. Warung atau kedai di Pasar Atas Bukittinggi pun masih tutup. Hanya satu dua yang buka, itupun lagi-lagi penjual souvenir. Yah, mumpung sudah berada di Jam Gadang, saya minta bantuan seorang Bapak untuk foto-foto sebentar. Jam Gadang sendiri masih belum buka.
Dari jam Gadang saya menyusuri jalan raya yang menurun. Ada penjual nasi kapau. Wah, masih pagi-pagi sudah makan berat. Saya di Tangerang biasanya hanya makan roti, kue, atau bubur. Kalau makan berat, perut ikutan berat alias sakit perut. Ternyata tak ada penjual lain. Rupanya kebiasaan masyarakat di sini makan pagi dalam porsi besar.
Saya sempat melintas bioskop Eri di pinggir Jalan Perintis Kemerdekaan, dekat dengan kantor BNI Rupanya bioskop tua ini sudah lama tutup. Terpinggirkan oleh kemajuan teknologi seperti tivi kabel atau DVD. Ada beberapa penginapan lamam berapa di sini.
Rupanya ada tangga penghubung menuju Pasar Bukittinggi. Lumayan tinggi juga. Kanan kiri tangga berupa barisan warung, rumah makan, atau kedai, yang semuanya masih tutup. Ah, saya kepagian rupanya. Satu jam mencari sarapan, hasilnya nihil. Diputuskan untuk sarapan di hotel saja.