Tiap generasi pasti punya kenangan sendiri saat menghadapi Ramadhan. Begitu pula saya. Ramadhan di era 80-an atau jaman saya duduk di bangku SD punya makna khusus yang meninggalkan kenangan mendalam. Era 80-an saya tinggal di Samarinda. Saat itu kawasan ini masih sepi.
Hal yang pertama kami beli saat memasuki Ramadhan adalah petasan. Era ini, petasan sama sekali tida dilarang. Mereka biasanya berjualan di pasar-pasar. Petasan yang paling terkenal jaman itu adalah Karapan Sapi, bintang, dan petasan cabe. Karapan sapi memang bukan yang terbesar tapi terlaris. Suaranya keras. Petasan bergambar bintang cukup keras tetapi tak sekeras Karapan Sapi. Kalau petasan cape biasanya dijual renteng tetapi suaranya tidak begitu keras.
Kalau yang lebh besar dari Kerapan Sapi banyak. Tapi kami terlalu takut menyalakannya. Percaya atau tidak, saya dan Eka (almarhum) selalu punya cara untuk "memeriahkan suasana". Saat semua orang baru saja berbuka puasa, kami memasukkan petasan dalam bak sampah tetangga (terbuat dari drum bekas). Tetangga saya marah luar biasa,ia keluar membawa-bawa parang. Kami ketakutan sekali dan bersembunyi di kolong jembatan kayu rumah orang. Padahal di kolong jembatan itu gelap dan banyak nyamuk.
Saat tarawih hampir semua tetangga yang muslim pergi ke mesjid. Biasanya jalan ramai dengan orang yang berjalan kaki. Hati-hati sendal bagus bisa hilang. Dulu tak ada acara sinetron dan lainnya di televsi atau iinternet sehingga ibadah bisa fokus. Tapi ada juga yang ke masjid sekedar shalat Isya lalu nongkrong di warung bakso atau janjian dengan pujaan hati. Habis belum ada sms atau handphone, jadi susah kalau mau janjian. Ketemunya ya pas tarawih.
Kami pernah juga dimarahi jemaah yang shalat tarawih karena menyalakan petasan di dekat masjid. Alhasil, jemaah wanita sampai kocar-kacir ketakutan. Sebagian malah pindah ke shaf laki-laki karena kaget.
Kapok? Tentu tidak. Saya dan Eka pernah menyalakan petasan Karapan Sapi ini di pinggir genangan air di bahu jalan berupa tanah. Ini hanya eksperimen saja. Tak tahunya ada supir tetangga kami yang melintasi jalan tersebut.
"Jangan lewat, Pak! Ada petasan!" teriak saya dan Eka.
Bapak itu tetap saja lewat dan darrrrr! Percikan air genangan itu terciprat mengenai kemejanya. Dan ia melaporkan kejadian itu pada Ibu saya. Saya ketakutan bersembunyi di kolong tempat tidur. Saya lupa, apakah Ibu akhirnya jadi membelikan baju baru atau hanya minta maaf saja ya?
Saat sahur selalu ramai oleh warga kampung yang berkeliling sambil berteriak : Sahur, Sahur, Sahur. Zaman now, sudah sedikit sekali pesertanya.
Tak kalah seru adalah kami membuat meriam bambu (bledugan) menggunakan mesiunya dari karbit. Bunyinya keras sekali seperti meriam biasa. Karena kami tinggal di tepi Sungai Karang Mumus (anak sungai Mahakam), lawan kami adalah kampung yang berada di seberang sungai. Kondisinya seperti perang sungguhan.
Dahulu di tempat kami, rumah-rumah masih jauh dari tepi sungai, jadi suara meriam tak terlalu mengganggu. Kalau sekarang, bisa digebukin orang sekampung . Kalau tak hati-hati kobaran api dari lubang sumbu bisa mengenai rambut atau alis. Alis Eka pernah terbakar sebagian dan ia menangis pulang ke rumah. Biasanya pukul 10 malam kami sudah berhenti bermain karena tahu orang-orang sudah beranjak menuju tempat tidur.