Lihat ke Halaman Asli

Herman Wahyudhi

PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Julian Aldrin Pasha yang Saya Kenal

Diperbarui: 1 Mei 2018   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JAP besama SBY (sumber otomotif.kompas.com)

Julian Aldrin Pasha adalah seorang juru bicara presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) periode 2009-2014.  Wajahnya sering terlihat di televisi.   Tak banyak berubah.  Senyumnya, potongan rambut, dan gaya bicaranya masih seperti dulu. 

Awal pertemuan saya dengan Atin (begitu ia biasa dipanggil) terjadi sudah lama sekali.  Sekitar 25 tahun yang lalu.  Wow, tak terasa sudah seperempat abad.  Waktu itu saya masih mahasiswa tingkat 2 di sebuah universitas di Depok dan kost di jalan Karet, Margonda Raya.   Atin masuk setahun kemudian.   Saat itu Atin sudah baru lulus pendidikan S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Sandal favoritnya adalah Daimato.  Sandal yang langka dan unik.  Atin juga lebih suka pakai kemeja dibandingkan kaos.   Kalaupun pakai kaos, sukanya kaos oblong putih polos.

Pertama kali bertemu, biasa saja.  Kan tetangga kamar, meski harus saling kenal.  Kesannya, biasa saja.  Malah saya pikir, Atin terlalu kaku.   Tata bahasanya bukan kid jaman now alias EYD banget.  Seperti sedang berada di  acara rapat kantor saja, ha...ha...

Mungkin karena sering bertemu, kami jadi akrab.   Di kamar Atin penuh dengan buku menumpuk sampai hampir menyentuh langit-langit.   Dibawah tempat tidur, Atin menyimpan kaset lagu-lagu era 60-an seperti Elvis Presley, Nat King Cole, dan juga musik klasik macam Beethoven, Bach, Chopin dan Mozart.  

Waktu itu Atin mulai jadi asisten dosen di UI.  Saya lupa, beliau mengajar mata kuliah apa saja.  Kadang sore hari saat pulang mengajar dan kami baru pulang kuliah, kami sempatkan bermain bila di lapangan dekat Politeknik UI.   Lawannya?  Warga kampung sekitar.   Wah, namanya kami anak kost yang biasa bergelut dengan buku lawan warga yang fisiknya oke punya, tentu saja kami kalah.  Bahkan dua warga kost harus pulang terpicang-pincang.   Tulang kering mereka bengkak akibat beradu lawan betis warga.

"Lain kali kita main sendiri saja, Tin," ujar Martin, teman satu kos.  "Atau lari pagi sajalah."

Martin sendiri pulang harus dipapah karena ia jalan terpincang-pincang.  Mampir sebentar untuk makan gorengan dan minum es teh manis.  Ah, segarnya.  

Ya, itu terakhir kalinya kami main dengan warga kampung.   Kami bukan lawan mereka.  Tapi hebatnya, hanya Atin bisa mengimbangi mereka.  Larinya cepat dan pandai mengiring bola.   Sedangkan kami sudah keteteran.    

Padahal nih, Atin tidak suka nonton bola.  Saya suka numpang menonton siaran bola Liga Inggris di kamarnya.   Atin memilih membaca.  Kalau ikut nonton paling banter hanya setengah jam.  Setelah itu ia akan tertidur.  Beda banget kalau berita politik atau debat politik, pasti diikuti sampai habis.   Malah saya yang ketiduran, he..he...  O iya, Atin juga kesayangan bapak dan ibu kost.  Soalnya Atin selalu bayar tepat waktu.  Tidak seperti saya yang diangsur (kredit kali ya....).

Beda kalau disuruh baca buku.  Saya ingat, waktu itu saya berangkat kuliah pagi sekali (maklum, mau mencotek tugas).   Pulang kuliah, daripada suntuk di kost mending jalan-jalan ke Blok M.  Tahun 90an belum ada mall di Depok.  Jalanan juga masih dua lajur dan masih sepi.    Eh, pulang sampai kos jam 9 malam, Atin masih membaca buku di atas meja belajarnya sampai tengah malam.  Baju dan celana yang ia pakai masih sama.  Busyet deh, kuat aman.   Hebatnya, matanya tidak minus alias tak berkaca mata.  Rahasianya, beliau ini sering meminum vitamin E setiap hari dengan dosis tertentu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline