Kita tidak bisa menghilangkan bencana, tapi kita bisa mengurangi risiko. Kita bisa mengurangi kerusakan dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.- Ban Ki Moon, Sekjen PBB
Waktu jam istirahat makan siang, saya bersama rekan bernama Heru makan di sebuah rumah makan padang di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Meja kami menghadap sebuah televisi 21 inchi yang berada di salah satu dinding rumah makan. Berita siang sebuah televisi swasta menayangkan bencana alam berupa meletusnya Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
"Mengapa masih banyak orang yang mau tinggal di daerah rawan bencana ya? Padahal sudah tahu daerah tersebut berbahaya," ujar Heru, teman saya asal Yogyakarta.
Heru mungkin lupa bahwa Indonesia berada terletak di Cincin Api Pasifik. Daerah ini banyak terjadi akivitas tektonik yang menempatkan Indonesia sebagai daerah rawan bencana. Di Pulau Jawa saja, 120 juta orang tinggal di dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi. Termasuk Jakarta dan daerah asalnya Yogyakarta. Bedanya kalau Yogyakarta rawan gempa, Jakarta rawan banjir.
Masyarakat terutama di daerah rawan bencana masih belum memilki pengetahuan akan kebencanaan dan mitigasi bencana. Pengetahuan masyarakat tentang kearifan lokal terasa semakin menurun karena kurang sosialisasi dan pembinaan. Karena itu peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat sangat mutlak diperlukan.
Kebijakan Lokal
Sebenarnya nenek moyang kita sudah akrab selama berabad-abad hidup di ekosistem rawan bencana. Mereka mengakrabi dan mengenali gejala alam akan terjadinya bencana dan menjadi pengetahuan lokal. Sebagai contoh, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Mereka membaca tanda-tanda alam melalui perilaku hewan, seperti turunnya hewan-hewan dari puncak gunung atau keluar dari rimbun hutan, burung-burung atau hewan lainnya mengeluarkan bunyi suara yang tidak biasa, atau adanya pohon-pohon di sekeliling kawah yang kering dan mati layu.
Contoh lain, kearifan lokal masyarakat pulau Simeulue turut menyelamatkan banyak nyawa ketika terjadi bencana tsunami pada 2004 melalui budaya semong, yaitu membaca fenomena alam pantai. Teriakan semong merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi dimana air laut surut dan masyarakat harus lari ke bukit. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi puluhan tahun lalu.
Berbeda dengan yang terjadi di Pantai Pangandaran Jawa Barat, masyarakat di sekitar justru lari ke laut karena air surut untuk memungut ikan dan kerang. Akibatnya banyak korban jiwa ketika gelombang laut yang tinggi datang tiba-tiba. Sayangnya, di era modern ini kebijakan lokal ini mulai terlupakan. Sebab itu BNPB berinisiatif menceritakan kembali pengetahuan lokal tersebut dalam bentuk drama radio.
Mengapa harus radio?