Lihat ke Halaman Asli

Herman Wahyudhi

PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Industri Hulu Migas Bersolek, Tarik Investasi

Diperbarui: 4 April 2017   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Sumber : esdm.go.id/kedaulatanenergi

Kondisi Industri Hulu Migas Kini

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, mengatur antara lain tentang penyelenggaraan kegiatan sektor minyak dan gas (migas), yang membagi kegiatan migas dalam dua kegiatan utama yaitu : kegiatan hulu migas (upstream) dan hilir migas (downstream).  Kegiatan hulu berintikan kegiatan mencari (exploration) dan mengangkat migas dari perut bumi dan menjualnya (exploitation).  Sedangkan industri hilir berkaitan pengelolaan migas, menyimpan, mendistribusi dan memperdagangkannya.

Selama bertahun-tahun industri hulu migas menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.      Namun sekarang industri hulu migas sedang dalam kondisi lemah dan lesu.   Harga jual minyak di pasaran dunia jeblok hingga 50% pada 2015, harga terendah dalam 15 tahun terakhir.   Tahun 2015 harga minyak Indonesia sudah turun lebih dari 50% sepanjang semester pertama tahun ini dibandingkan dnegan periode sama tahun lalu.   Kondisi ini menyebabkan kontraktor kontrak kerjasama migas (KKKS) memotong biaya investasinya  dari US$23,6 miliar menjadi US$20,2 miliar. Penurunan produksilifting (minyak siap jual) pun tak terhindarkan.   Hal ini selain disebabkan pengaruh harga minyak dunia, juga karena berkurangnya kapasitas produksi sumur minyak yang rata-rata sudah berusia tua.

Saat ini Indonesia hanya memiliki cadangan minyak sebesar 3,7 miliar barel atau berada di urutan ke 27.   Cadangan migas di Indonesia saat ini berada dalam kondisi krisis.   Jumlah cadangan energi Indonesia hanya 0,6% dari seluruh cadangan dunia.  Indikasi penurunan tersebut terlihat dari sumbangan sektor migas terhadap devisa negara yang terus menyusut.   

Sumber : SKK Migas

Tak ayal, sejak tahun 2008 Indonesia resmi menjadi net importermigas akibat tingginya konsumsi yang tidak dibarengi dengan produksi yang ada. Posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir.   Berdasarkan data yang dirilis Dewan Energi Dunia, peringkat Indonesia berada di posisi ke-69 dari 129 negara pada tahun 2014.    Posisi melorot jauh dari peringkat Indonesia pada tahun 2010 yang berada di pososi ke-29 dan 2011 bertengger di posisi ke-49.  

Realisasi produksi minyak bumi tahun 2009 – 2015 selalu lebih rendah dari target APBN-P.   Akibat tak tercapai target nasional ini, pemerintah harus mengimpor minyak yang semakin tahun semakin meningkat.  Hal ini menjadikan Indonesia sebagai net importer minyak terbesar di kawasan Asia Tenggara.    Wood Mackenzie (2013) dalam sebuah laporannya menyebutkan Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak terbesar di dunia pada 2018.  Defisit bahan bakar minyak (BBM) Indonesia akan melampaui gabungan defisit minyak Amerika Serikat dan Meksiko.

Indonesia akan terus menjadi net importir jika tidak dilakukan langkah-langkah untuk mendapatkan cadangan minyak baru.   Kapasitas kilang untuk pengolahan minyak mentah menjadi BBM di Indonesia mencapai 1 juta barel per hari (bph).   Barel biasa digunakan untuk menunjukan volume minyak, terutama minyak mentah.  Menurut standar Amerika Serikat (AS), 1 barel = 42 galon.   Setara dengan 158.9873 liter, dibulatkan menjadi 159 liter.    Sekitar 40% kebutuhan minyak mentah atau 350.000 bph berasal dari impor.     Minyak mentah yang diimpor Indonesia berasal dari berbagai negara di seluruh dunia, paling dominan adalah Arab Saudi, Rusia, dan Nigeria.

Bagaimana dengan kondisi permintaan gas dalam negeri?   Kondisi hampir sama juga terjadi pada sektor gas dimana permintaan gas nasional melebihi pasokan.   Hingga pada tahun 2012 memang ekspor gas masih lebih besar daripada kebutuhan permintaan domestik.   Akan tetapi pada 2013 keadaannya mulai berbalik, konsumsi domestik sudah mulai melebihi ekspor   Situasi ini diakibatkan terus meningkatkan permintaan domestik akan gas hingga lebih 6% tahun.   Tercatat pada 2014 defisit gas mencapai 1,733 MMSCF (Million Standard Cubic Feet atau juta standar kaki kubik) per hari.  

Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan masuk prioritas ke-7 Nawacita, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi denan dengan menggerakkan sektor-sektor strategis domestik.    Sektor energi merupakan tulang punggung perekonomian.     Kenyataannya ketahanan migas negeri ini sudah masuk “lampu merah”.   Perlu segera dilakukan langkah-langkah kongkrit untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri.

Sumber : SKK Migas

Net Importir Tapi Kok Ekspor?

Masih butuh minyak, kok justru diekspor ke luar negeri?    Apa tidak salah?   Mengapa tidak digunakan untuk memenuhu kebutuhan dalam negeri saja?   Menurut situs resmi Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas), lifting migas sebesar 1,965 juta BOEPD (Barel Oil Equivalen Per Day/Barel Setara Minyak Per Hari) tersebut terdiri atas lifting minyak sebesar 815.000 bph dan lifting gas sebesar 1,150 juta BOEPD. Lifting minyak bumi sebesar 815.000 barel per hari ini, lebih tinggi dari angka yang diajukan Pemerintah sesuai dengan Nota Keuangan Presiden Joko Widodo tanggal 16 Agustus 2016 sebesar 780.000 barel per hari.   Namun tetap saja jumlah tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri yang mencapai 1,5 bph.  Sehigga masih ada kekurangan kebutuhan sekitar 685.000 bph yang dipenuhi melalui impor.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline