Dituruti.... Aku mati emak
Tak dituruti......Aku mati bapak
Begitulah.... Nasib cintaku
Bagai buah... Simalakama
Lagu Simalakama yang dipopulerkan oleh beberapa penyanyi diantaranya Soimah dan Denis Ariesta, seolah menjadi gambaran mengenai industri pertambangan mineral bauksit. Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yang diterbitkan pada tanggal 12 Januari 2014 dituding sebagai biang keladi kekacuan industri bauksit di negeri ini. Bak buah simalakama, kalau dituruti banyak industri pertambangan yang kolaps bahkan tutup. Ujung-ujungnya terjadi pemutusan hubungan kerja (phk) dalam jumlah besar. Tapi kalau tidak dituruti, bangsa ini akan terus bergantung pada industri pengolahan mineral bauksit di luar negeri. Selain itu, tak ada nilai tambah dari industri mineral bauksit.
THE MISSING LINK
Pada saat pemberlakuan Permen ESDM No 1/2014, belum ada fasilitas pengolahan dan permurnian atau dikenal sebagai smelter di Indonesia. Jadi tak salah jika hasil mineral bauksit ini diekspor keluar negeri untuk diolah menjadi alumina. Kemudian alumina ini diekspor kembali ke Indonesia sebagai bahan baku pembuatan aluminium.
Industri alumina inilah yang menjadi missing link dari industri alumunium tanah air. Meski keputusan pelarangan ekspor mineral bauksit dinilai terlambat, tetapi pemerintah merasa perlu untuk membungun smelter alumina untuk mencari nilai tambah dari sumber daya alam Indonesia,
Industri pertambangan bauksit sendiri sudah berlangsung selama 80 tahun. Tercatat bahwa bauksit pertama kali ditemukan di Kijang pada tahun 1924. Sedangkan penambangan dan ekspor bauksit dimulai sejak 1935 dan industri hilir PT. Inalum didirikan pada 1976. Menurut Ketua Asosiasi Pengesuaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I ), Erry Sofyan, potensi cadangan mineral bauksit di Indonesia mencapai 7,55 milyar ton.