Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga liang lahat. (HR. Bukhori)
LOVE OF MY LIFE IN SAMARINDA
Istilah di atas tidak pernah usah dan akan abadi sepanjang masa. Buku adalah salah satu sahabat setia dalam menuntut ilmu dalam universitas kehidupan ini. Sejak saya mulai bisa membaca saat duduk di bangku kelas I Sekolah Dasar, saya mulai mencintai buku. Buku pertama yang saya cintai adalah majalah anak-anak Bobo dan Donald Bebek. Dari sanalah saya mulai lancar membaca. Ayah saya juga berlangganan harian Kompas dan saya biasanya ikut membaca hanya judul artikel saja. Sisanya, Ayah akan kerepaotan menjawab pertanyaan saya yang datang bertubi-tubi, he..he… Dari Kompas, saya belajar banyak kosa kata baru.
Ketika menempuh Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Samarinda, saya mempunyai banyak koleksi buku mulai dari buku sejarah umum, komik, hingga novel. Saya ingat punya koleksi komik bergambar Tintin, Asterix, Tanguy and Laverdure, Chevalier Ardent, Trigan, bahkan komik bergambar Grant (yang waktu itu muncul bersambung setiap hari di koran Kompas). Novel macam Lupus, Agatha Christie dan Lima Sekawan juga ada. Juga komik-komik agama Islam yang dijual pedagang keliling yang sering mampir ke rumah.
Belum lagi majalah-majalah yang menumpuk di lemari seperti Hai, Jakarta Jakarta, juga Tempo (untuk dua majalah terakhir saya dapat distributor tetap dari Om saya di Balikpapan. Biasanya sebulan sekali ke Samarinda sambil membawa setumpuk majalah ini dan beberapa buku komik baru. Terima kasih Om Benny). Wawasan tentang dunia terbuka lebar dengan membawa majalah ini. Saya tahu apa yang terjadi di dunia saat itu. Saya tahu tentang peristiwa Tembok Berlin, Boris Becker, monyetnya Michael Jackson, juga artis yang akan menikah atau bercerai (ih, kecil-kecil sudah menggosip).
Dari majalah Hai saya tahu banyak tentang group musik. Sampai inget kalau saya mengetik dalam kertas ukuran kecil nama group music, sejarah, personil, dan judul albumnya. Jangan heran kalau di kelas saya selalu menjadi tempat bertanya soal musik mancanegara. Mulai Duran Duran, Spandau Ballet, Alphaville, Bon Jovi, Enuff Znuff, A-ha, Kingdom Came, Poison, The Police, Bonfire, dan lain-lain. Maklum, saat itu di era 1980-an belum ada internet.
KADO SPESIAL
Ada satu peristiwa yang tidak saya lupakan yaitu ketika ulang tahun saya yang ke-13 saat masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Pulang sekolah sore hari (saya memang masuk siang saat itu), ketika sampai di rumah saya terkaget-kaget. Ada kotak kado di atas meja saya dan serta kue-kue.
”Selamat ulang tahun ya, Nak. Tuh hadiahnya buat Yudhi,” ujar Ayah sambil tersenyum melihat kekagetan saya.
Maklum saja, paginya saya sempat bad mood. Ulang tahun kok tidak ada kadonya.
“Kadonya menyusul ya, Nak,” kata Ayah waktu itu.
Ternyata Ayah menepati janji. Mau tahu kadonya apa? Novel Musashi karangan Eiji Yoshikawa lengkap dari jilid 1 sampai 7. Wow….ruarrr biasa. Hingga saat ini novel tersebut masih saya simpan. Sayangnya novel jilid 4 dipinjam teman dan tidak kunjung balik (kalau ada yang punya novel Musashi edisi pertama jilid 4 boleh deh kontak saya).
Banyak filosofi hidup yang ada dalam novel ini : "Seorang prajurit hebat punya kecakapan yang sama dalam mengayunkan pedang dan menorehkan pena". Atau “Ketika umurku sudah lewat tiga puluh tahun dan merenungkan kembali hidupku, aku sadar bahwa aku menjadi pemenang bukan karena kemampuan luar biasa dalam seni bela diri. Mungkin saja aku mempunyai bakat alami atau tidak menyimpang dari prinsip alami. Atau, bisa jadikah seni bela diri lawan itu yang memang mengandung suatu cacat? Setelah itu, dengan tekad jauh lebih besar untuk mencapai pemahaman yang lebih jelas mengenai prinsip-prinsip yang dalam, aku berlatih siang malam”. Keren kan…..
Selain filosofi hidup, saya juga bisa mempelajari budaya masyarkat Jepang waktu itu. Buku macam Tintin membuka imajinasi saya tentang London, Amerika, Mesir, Sungai Amazon di Brasil, Nepal. Asterix membantu saya lebih memahami tentang Perancis, sejarah Romawi, dan kaum Viking. Tanguy and Leverduy membawa saya memahami kemiliteran Perancis dan pesawat Mirage. Atau Lucky Luck yang membawa kembali jaman Wild Wild West lengkap dengan Billy the Kid dan masih banyak lagi. Dari kamar kecil di kawasan Prefab Segiri Samarinda, serasa dunia berputar mengelilingi saya. Jadi bukan heliocentris tetapi Yudhicentris, hi..hi..…..bukan narsis ya.
Selain Musashi, saya masih ingat kalau Ayah tugas keluar kota sering membelikan novel macam Suro Buldog, Harimau Harimau, hingga Catatan Pinggir Goenawan Mohammad. Buku Pintar Senior yang disusun Iwan Gayo dulu menjadi kesayangan saya karena banyak pengetahuan umum di sana. Tapi pernah suatu waktu ketika pulang tugas dari Jakarta, Ayah salah membelikan novel. Mungkin Ayah pikir novel itu merupakan novel tentang dunia spionase, ternyata novel orang dewasa. Buku itu langsung saya bakar diam-diam di halaman rumah. Isinya serem, ha..ha..ha…
GOES TO GARUT
Setelah menyelesaikan studi di bangku SMP, saya melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas (SMA) di Garut. Di Garut saya tinggal bersama dengan kakek dan nenek. Koleksi buku-buku saya tinggal semua di Samarinda dan diwariskan ke adik tertua kecuali novel Musashi. Buku-buku tersebut kelak disumbang ke perpustakaan, teman-teman, dan khusus buku agama disumbangkan ke perpustakaan masjid.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikan. Lain kota, lain pula dengan kebiasaannya. Jika di Samarinda saya lebih mudah untuk medpatkan novel, komik, buku-buku popular. Lain halnya di Garut. Di kota kabupaten ini hanya ada dua toko buku yang lumayan besar. Yang pertama kebanyakan menjual buku-buku pelajaran sekolah dan majalah, dan yang kedua lebih banyak menjual buku-buku keagamaan. Jadi koleksi buku saya selama tiga tahun sekolah di kota ini lebih banyak pada buku pelajaran sekolah dan buku agama. Nah kalau ada liburan ke Bandung saya sempatkan untuk memborong buku-buku macam novel dan buku populer lainnya. Biasanya toko buku langganan saya adalah Gramedia yang ada di jalan Merdeka. Di sana setelah lelah mengubek-ubek buku, pulangnya makan pizza, siomay, atau ayam bakar. Mantap ‘kan…..
Sama seperti jaman SMP dulu, buku-buku SMA tidak ikut saya bawa serta ketika melanjutkan pendidikan kuliah di bangku perguruan tinggi. Buku-buku yang kebanyakan buku pelajaran itu dibagikan untuk adik-adik kelas.
NASIB ANAK KOST
Selepas SMA, saya melanjutkan pendidikan di sebuah universitas di Margonda Depok. Di kota geledek ini saya kost (benar lho, geledeknya bikin jantungan). Saya mengambil jurusan Teknik Komputer. Dua tahun kemudian saya mengambil kuliah lagi di jurusan Hukum Universitas Indonesia. Jadi saya kuliah di dua tempat, untungnya kuliah antar kampus dekat. Tinggal naik ojek, sampe deh. Konsekuensinya, mau tidak mau saya harus punya banyak buku refensi baik untuk bidang komputer dan hukum. Saya rela tidak beli baju baru bahkan tidak makan malam untuk disisihkan membeli buku. Jangan heran kalau tubuh saya di masa-masa kuliah tergolong langsing xi…xi..xi….. (I miss that body).
Banyak sekali informasi dan pengetahuan yang saya peroleh dari buku-buku tersebut. Selain itu saya juga rajin ke Senen membeli majalah-majalah bekas (kalau beruntung masih dapat buku baru yang masih rapi terbungkus plastic) macam National Geoghrapic, Tempo, Newsweeks, Times, Intisari, Info Bank, Swa, masih banyak lagi. Pulang dari Senen, saya mandi dan berleha-leha sambil baca majalah-majalah baru (meski edisi lama) tersebut di kamar. Seperti judul lagu Van Halen, just like in paradise.
Buku-buku dan majalah itu saya pajang rapi di kamar. Teman-teman kost menyebut kamar saya sebagai taman bacaan. Saya pun menerima buku-buku yang sudah tidak dibaca oleh mereka alias mau dipensiunkan. Kalau perpustakaan Universitas Indonesia saat itu masih kecil, koleksi bukunya hanya menempati satu ruang kecil ukuran tiga kali enam meter. Kecil sekali bukan. Saya menjadi anggota perpustakaan nomor 34. Jumlah pengunjungnya juga masih belasan. Selain koleksinya masih sedikit, lokasi ke sana juga serem. Lokasinya terpencil dan melewati hutan UI. Saya rajin meminjam buku di sana, buku yang saya pinjam tentang komputer atau sejarah.
Buku sejarah membuka wawasan kita tentang perjalanan suatu bangsa dan konflik yang mereka hadapi. Sejarah Eropa, Perang Salib, Perang Dunia I dan II, sejarah Nusantara, sejarah Rusia, sejarah kerajaan di Pulau Jawa. Sejarah seperti sebuah novel, kadang bercampur mitos dan hal-hal yang saling bertentangan. Tapi di situ serunya sejarah. Sejarah juga melahirkan tokoh-tokoh macam Salahudin Al Ayyubi, Richard The Lion Heaet, Soekarno, Hatta, Louis XIV, Napoleon Bonaparte, Hitler, Mussolini, Stalin, Nero, Leonardo da Vinci, hingga The Beatles dan Michael Jackson.
Maka tak aneh diantara tumpukan buku saya ada buku tentang hubungan internasional (dari masahasiswa HI FISIP UI), ekonomi, (sumbangan dari anak FE UI dan UG), ilmu politik (dari mahasiswa FISIP UI), kesejahteraan masyarakat (juga mahasiswa FISIP UI), biologi (donasi dari mahasiswa MIPA UI), dan lain-lain. Pokoke apa saja, asalkan buku aliran sesat saja…… Dari buku-buku tersebut saya belajar tentang finansial, psikologi, kesehatan, perekonomian, kebijakan migas, binatang, Sun Tzu, Machiavelli, Nietzsche, Mahabrata, Diponegoro, Pangeran Samber Nyowo, dan masih banyak lagi.
Lalu bersama seorang teman kuliah, kami membuka penyewaan buku di kota Depok. Saya menyuplai buku-buku novel, dia menyuplai buku-buku komik bergambar. Ternyata komik bergambar macam Doraemon, Dragon Ball, Kungfu Boys, Candy Candy, laris manis dibandingkan novel. Alhasil, Break Even Point (BEP) saya berjalan lamban banget…… Teman langsung memanas-manasi dengan kipas-kipas duit hasil penyewaan di depan muka saya. Asem…… Padahal investasi buku novel lebih mahal dibandingkan komik bergambar.
“Males Kak, baca novel yang tebal-tebal. Tidak ada waktu. Kalau baca komik bisa diselang seling dengan belajar atau main. Kalau baca novel, ditinggal sebentar sudah lupa,” kata seorang siswa yang tidak mau disebutkan namanya, he..he… (takut ketahuan emaknya).
“Lihat buku novel saja sudah stress, Kak. Apalagi membacanya. Enak baca komik, bisa sambil ketawa-ketawa,” ungkap seorang siswa lain yang cukup ganteng.
Ada benarnya juga sih. Tapi usaha tersebut lumayan bisa bantu-bantu saya nambah uang saku, meski tidak sebanyak hasil penyewaan komik (ha..ha.. masih ngiri.com) . Maklum anak kost, subsidi dari orangtua terbatas.
TOKO BUKU LANGGANAN
Langganan toko buku saya waktu itu adalah Gramedia Blok M. Hari sabtu atau minggu dimana tidak ada kuliah, saya suka bosan hanya diam di kost. Mau jalan-jalan ke mall atau nonton bioskop, budget terbatas. Biasanya saya jalan-jalan ke Gramedia Blok M atau jalan-jalan ke Bogor atau Stasiun Kota. Mengapa Bogor atau Stasiun Kota? Karena di sana lokasi terjauh naik kereta api yang murah meriah. Sampai di sana biasanya saya jalan-jalan lihat suasana, beli makan di kedai pinggir jalan, beli koran, lalu balik lagi ke kost. Ha…ha…. Just killing time.
Kalau budget agak berlebih, pilihan jatuh ke Blok M. Saya ingat persis dari kost-an naik bus jurusan Pasar Minggu, dari sana naik situ naik metro mini nomor 75 jurusan Blok M. Metro mini ini termasuk maut lho. Kaca mata saya pernah patah gara-gara belum duduk sudah melaju. Pernah juga saya hampir jatuh sewaktu mau turun dari metro mini yang tetap melaju.
“Ayo turun, Mas. Kaki kiri turun duluan,” kata kenek tidak sabaran.
“Oiii,,,bagaimana mau turun, Bang. Busnya tidak mau pelan,” balas saya sewot.
Kalau begini caranya bukan kaki kiri duluan yang turun tetapi kepala.
Saya senang berlama-lama membaca buku di Gramedia. Biasanya saya beli buku yang tipis dan murah (budget terbatas). Tidak enak ‘kan seharian di Gramedia, baca doing tapi tidak beli buku (buka rahasia nih!). Saya senang membeli buku biografi tokoh nasional maupun dunia. Atau mencicil membeli novel seri Taiko karangan Eiji Yoshikawa. Buku biografi tersebut mengispirasi hidup saya. Happy banget kalau lagi ada promo diskon….. rasanya sudah jadi orang paling kaya bisa borong banyak buku.
Sewaktu selesai kuliah, saya baru sadar kalau koleksi saya jumlah sudah ratusan judul buku (belum termasuk majalah). Buku-buku itu dimasukkan dengan rapi dalam beberapa kardus dan langsung mememenuhi mobil pick up yang akan dibawa pindahan ke Bandung, ke rumah orangtua.
KERJA, KERJA DAN KERJA
Ketika saya bekerja di sebuah kementerian di Jakarta, Gramedia Blok M tetap menjadi langganan saya. Hampir seminggu sekali saya mampir di toko ini. Dahulu sewaktu jaman kuluah, Terminal Blok M belum jadi dan Aldiron masih ada, saya selalu belanja di sini. Tak terasa sudah lebih dari 20 tahun saya selalu berkunjung ke Gramedia Blok M.
Begitupun ketika mendapat tugas belajar S-2 (Magister Teknik) di ITB saya pun menyempatkan diri untuk mencari buku-buku kuliah yang rada-rada berat (baik isi maupun ketebalan buku) . Terus terang, saya lebih suka cari yang terjemahan daripada yang aslinya. Selain lebih murah, saya tidak perlu repot-repot menterjemahkannya (ketahuan bahasa Inggeris-nya pas-pasan, ehm…..). Makanya kalau ada buku macam Collapse dan Gums, Germs & Steel karangan Jared Diamond, buku-buku karya Stiglitz, atau Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman langsung saja diborong. Buku-buku mereka banyak membuka cakrawala dan cara saya berpikir dengan dunia. Coba deh kalau ada waktu baca buku-buku di atas…… recommended lho….
Setelah kuliah S2 di ITB, bukan berarti saya berhenti kuliah. Saya kuliah S-1 lagi mengambil jurusan Teknik Sipil di sebuah universitas swasta. Makin tua makin jadi, kata orang. Saya memang lagi senang belajar tentang jalan dan jembatan karena berhubungan juga dengan pekerjaan sehar-hari. Kuliah S-1 ini tak terasa membuat koleksi buku-buku di rumah semakin beranak pinak.
Tapi beberapa bulan terakhir ini saya tidak bisa mampir di Gramedia Blok M. Bukan tidak punya uang, tapi gedungnya sedang direnovasi. Gedung di sebelahnya saja sudah berubah menjadi Hotel Fave (dulunya toko baju Borobudur dan Ramayana). Everything comes, everything happens, and everything changes
Bila tugas keluar kota pun saya menyempatkan diri mencari toko buku. Seperti waktu di Riau, Banjarmasin, Balikpapan, Surabaya, Semarang, Pekalongan, pokoknya banyak toko buku yang sudah disinggahi. Yang lucu waktu belanja di sebuah toko buku di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya seperti memasuki lorong waktu mundur sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu. Buku-buku yang dijual kebanyakan buku out of date alias buku lawas. Saya sampai tertawa sendiri melihat beberapa buku yang menyimpan beberapa kenangan. Misalnya buku Seni Berbicara karya Larry King. Buku itu pernah saya bahas bersama dengan seorang teman kost yang pernah menjadi juru bicara presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY). Atau buku ekonomi karya Kwik Kian Gie yang diberikan seorang teman kantor. Juga buku-buku pegangan jaman kuliah dulu. Seperti back to future…..
Waktu jalan-jalan ke Gramedia di sekitar daerah Simpang Lima, kebetulan sedang ada bazar buku murah. Tidak sadar saya membeli banyak buku. Waktu mau pulang ke Tangerang baru saya kebingungan. Selain satu koper pakaian, satu tas penuh buku, ada dua kardus oleh-oleh titipan teman. Wah sudah seperti mau pulang mudik Lebaran saja. Begitu pun kalau ke luar negeri pun demikian. Buku yang dibeli biasanya tentang kebudayaan negeri setempat. Selain menambah wawasan juga menjadi kenangan dari tempat-tempat yang pernah disinggahi.
KOLEKSI BUKU DAN KONTAINER
Sebagian koleksi buku-buku saya diletakkan di pojokan ruang kerja. Terbagi dalam beberapa rak buku dan rak dinding. Menumpuk hingga menyentuh plafon rumah. Sebagian koleksi buku lainnya dimasukkan ke dalam kontainer dan lemari (awalnya beli buat lemari baju, malah jadi lemari buku, he..he…). Dulu isteri sempat protes sewaktu ruang di rumah kami mulai di-invasi oleh buku-buku. Mulai dari ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, ruang tidur, sampai dapur. Buku-buku itu sempat dimasukkan dalam kardus-kardus bekas. Saya protes berat, apalagi melihat kardus-kardus itu sudah terlihat kusam dan kotor.
“Rumah jadi berantakan, Papa sayang. Mama mau tidur di kasur ada buku, mau nonton televisi ….. di atas telivisi ada buku. Di mana-mana buku. Pokoknya Papa jangan marah kalau Mama yang membereskan buku-buku itu kalau Papa tidak mau.”
Diancam begitu, siapa yang (tidak) takut. Akhirnya saya menyerah juga, he…he… “Ok, Mama….. buku-bukunya akan Papa bereskan besok.”
“Sekarang!” ujar isteri sewot.
“Eh iya, sekarang.”
Hingga malam saya berjuang mengumpulkan buku-buku yang berceceran. Hingga ditumpuk rapi di pojok ruangan. Besoknya (pas hari Minggu) saya pergi ke hipermarket, borong kontainer boo…….
Akhirnya buku-buku yang berada di pojokan ruang kerja mulai dibereskan secara terstruktur, masif, dan sistematis, he..he... Buku-buku tersebut juga dirapikan ke dalam kontainer juga. Bukan karena isteri yang protes, tapi karena anak saya alergi sama debu. Kalau dekat-dekat rak buku itu anak saya langsung bersin-bersin, hachhih….hachhih….. Yo wis, demi anak buku-buku tersebut harus menyingkir. Saya baca buku tentang perkembangan anak bahwa memang daya tahan tubuh anak masih rentan. Berhubung rumah saya juga tidak besar, jadi tidak bisa dibuat ruang khusus perpustakaan. Tapi buku-buku itu saya simpan dalam kontainer berdasarkan kategori. Ada kontainer yang melulu isinya tentang hukum, ada kontainer yang isinya tentang komputer, ada satu kontainer isinya majalan National Geographic, kontainer buku agama, kontainer pekerjaan kantor, kontainer buku agama, container biografi dan autobiografi, kontainer novel, macam-macam deh. Beberapa koleksi buku masih tertinggal di Bandung sewaktu pindahan dari Depok dulu. Tersimpan rapi di dalam lemari buku.
BUKU VS E-BOOK
Bagaimana dengan munculnya fenomena e-book saat ini? Apakah saya tetap setia dengan buku dalam bentuk fisik atau e-book? Saya tetap setia pada buku dalam bentuk fisik meski kadang masih membaca e-book. Entahlah, membaca e-book membuat mata saya lelah dan leher pegal. Mungkin ini sugesti saya saja. Membaca buku dalam bentuk fisik rasanya lebih nyaman, personal dan intim. Buku yang sering saya biasanya ada catatan pinggir pulpen bagian samping halaman. Biasanya untuk kalimat yang berkesan, punya makna, atau tanda kalau saya perlu mencari informasi lebih dalam lagi. Hal itu tidak saya dapatkan pada e-book.
Saya setuju dengan tulisan Nicholas Carr dalam buku The Shallows (2010) : “Pengalaman membaca juga cenderung lebih baik dengan membaca buku. Kata-kata yang tercetak dengan tinta hitam lebih mudah dibaca dibanding kata-kata yang dibentuk oleh piksel dilayar dengan lampu latar. Kita bisa membaca lusinan dan ratusan halaman cetak tanpa membuat mata kelelahan yang sering timbul sebagai akibat membaca secara online.”
Buku fisik bisa saya sambil tiduran, makan, dalam perjalanan, atau sambil mendengar musik. Hal itu yang paling saya rindukan saat weekend. Pokoknya nikmat banget…….. Buku banyak mempermudah saya dalam bergaul, belajar, dan bekerja. Rasanya tanpa buku, semua itu akan sulit tercapai. Oleh sebab itu kebiasaan itu coba diturunkan kepada kedua anak saya. Syukurlah, mereka nampaknya sudah mulai menikmati membaca buku. Perbedaan sudah mulai terlihat kok, anak saya sering menceritakan cerita yang dibacanya kepada teman sebaya. Selain itu mereka menjadi lebih banyak tahu.
Buku membuat seseorang menjadi pintar, banyak pengalaman, membuat hidup lebih berarti, humble bisa mengajarkan orang lain, menjadi lebih percaya diri, pokoke banyak sekali manfaat dari buku. Di Islam pun disebutkan, Allah akan meninggikan beberapa derajat orang yang berilmu. Dunia ada dalam genggaman kita. Indonesia International Book Fair (IIBF) 2014 besiaplah, saya akan ke datang. Yuk, borong yuk…… (isteri sudah wanti-wanti untuk membeli satu kontainer lagi, he..he…)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H