Saya membaca ungkapan belasungkawa atas kepergian Panusu kemarin sore. Panusu bukan siapa-siapa? Seorang pelaut. Ia melintasi laut, menjangkau pulau-pulau di negeri ini dan akhirnya akhirnya berlabuh karena serangan penyakit aneh menurutnya kala itu.
Panusu bukan siapa-siapa. Pria Sulawesi yang terdampar di Pulau Longos, Manggarai Barat. Hidup terisolir karena menderita penyakit yang kemudian teridentifikasi sebagai kusta.
Di tengah ketakberdayaan, ia terus melakukan ziarah pencaharian. Pencarian untuk memperoleh kesembuhan. Singkat kisah, ia mendengar nama seorang biarawati Katolik dan ia akhirnya dipertemukan dengan sang pelayan orang kusta-cacat ini.
Biarawati itu adalah Sr. Virgula SSpS. Putri dari keluarga berada di negeri Jerman yang memilih untuk membaktikan diri sebagai biarawati dan pelayan orang kusta-cacat di Manggarai sana.
Kisah perjumpaan Panusu dan Sr. Virgula pernah dikisahkan Panusu dalam buku Ziarah Pembebasan. Ia menceritakan bagaimana "Mama Lula" merawatnya tanpa sungkan dan tak merasa jijik sedikit pun. Ia membersihkan luka-lukanya dan melakukannya secara rutin dengan segenap cinta.
Tentu Sr. Virgula mungkin tak menanyakan agama Panusu. Kalaupun ia bertanya hanya sekedar untuk diketahui demi perlakuan dalam pelayanannya. Sr. Virgula tak pernah membujuk atau memaksa mereka untuk menjadi penganut Katolik meskipun itu ia bisa lakukan dengan posisi tawarnya yang tinggi. Sr. Virgula melayani mereka tak atas dasar agama, pelayananannya adalah pelayananan kemanusiaan.
Panusu tak sendirian di sana. Ada pula Abdul, seorang muslim asal NTB. Abdul pernah mengungkapkan niatnya untuk menjadi Katolik tetapi Sr. Virgula mencegahnya. Itu tadi. Pelayanannya adalah pelayanan kemanusiaan. Ia tak mau dengan pelayanan dan kasihnya menyebabkan orang meninggalkan imannya.
Kisah Sr. Virgula, Panusu, dan Abdul adalah gambaran nyata yang seharusnya menjadi contoh bagi para pemimpin dan rakyat negeri ini kala agama dijadikan "komoditas" untuk berbagai kepentingan apapun yang bertentangan nilai-nilai kemanusiaan.
Kita mudah temui pemberitaan yang mengeksploitasi agama dan kemudian mencedarai nilai-nilai kemanusiaan. Kita dipertontonkan oleh kelompok-kelompok yang mempolitisasi agama untuk kekuasaan duniawi. Kita menyaksikan betapa orang mengkaplingkan surga sebagai milik mereka semata dan melabelkan kelompok yang lain sebagai komunitas kafir dan sejenisnya. Terakhir, eksploitasi berlebihan perpindahan keimanan tokoh atau artis dan kemudian berujung saling menghujat dan mengklaim paling benar. Padahal, soal keimanan (agama) adalah ranah privasi seseorang. Orang bebas menentukan sikap imannya -- apapun alasannya.
Apa yang dilakukan Sr. Virgula adalah sebuah sikap yang berlandaskan CINTA KASIH. Cinta Kasih tak mengenal sekat atau batas, atribut suku atau agama. Cinta Kasih melampui dimensi kehidupan di dunia ini. Cinta Kasih adalah sebuah perwujudan kemanusiaan yang berlandaskan Kasih dan Kebesaran Tuhan.
Dengan merawat dan memperlakukan Panusu atau Abdul dengan istimewa tanpa masksud untuk menggoyahkan iman mereka. Ia mengharapkan mereka menjalankan kehidupan sesuai dengan ajaran agamanya. Mereka bebas sholat meskipun mereka berada di tengah mayoritas anggota komunitas Damian yang beragama Katolik.