Salah satu hal menarik Debat III, DAPODIK masuk dalam pertanyaan Cawapres Ma'ruf Amin. Disebutkan DAPODIK menjadi salah satu instrument untuk mengendalikan, memonitor dan mengevaluasi Dana Transfer Daerah sektor pendidikan.
Saya sepakat, DAPODIK harus menjadi instrument penting bidang pendidikan. Mengikuti perkembangan atau tuntutan dunia pendidikan, DAPODIK terus dikembangkan fitur-fiturnya. Aplikasi ini terbilang bertahan dan adaptable.
Sebagai orang yang pernah menjadi Administrator Dapodik, menilai pernyataan Cawapres Ma'ruf Amin sangat serius. Tidak sekadar untuk "menguji" rival soal penguasaan materi di bidang pendidikan melainkan kenyataan yang sedang terjadi dan akan dilanjutkan. Pernyataan ini pasti akan diamini Jokowi.
Dua tahun mengabdi sebagai Admin DAPODIK. Waktu yang relatif singkat tetapi memberikan banyak hal yang bernilai tentang pengelolaan data pendidikan.
DAPODIK adalah langkah besar sektor pengembangan infrastruktur digital yang sangat powerfull. Sebelum ada DAPODIK, ada aplikasi lain seperti Pedati dan entah yang lainnya. Penulis yang ingat Pedati itu.
Dalam suatu kegiatan Rakor Pendidikan di Jakarta 2017 lalu, saya mendengar pernyataan staf kepresiden yang menjadi pemateri waktu itu, DAPODIK menjadi model dan rujukan bagi kementerian/lembaga lain menuju ide besar INDONESIA SATU DATA. Meskipun gagasan ini sedikit terhambat oleh adanya ego sektoral, misalnya Kementerian Agama, salah satu kewenangannya mengelola pendidikan namun data pendidikan dari kedua lembaga ini belum bisa terintegrasi dengan DAPODIK. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki DAPODIK, sementara Kementerian Agama memiliki Simpatika. Sulit untuk menyatukan dua platform sistem yang berbeda yang dikelola oleh dua lembaga yang berbeda pula. Butuh kesepahaman dan komitmen yang sama.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menyingung soal pengembangannya. Saya kira hal-hal teknis pengembangan sudah dipikirkan, direncanakan, dikembangkan dan diterapkan oleh developer atas analisis kebutuhan user. Saya akan fokus menyoroti pada pengalaman interaksi saya dengan kepala sekolah, guru dan operator Dapodik Sekolah.
Dalam tanda petik, DAPODIK itu dapat menjadi hantu yang menakutkan. Maksud penulis begini. Sederhananya, nasib orang guru ditentukan oleh DAPODIK. Sebagai contoh, seorang guru mengajar sia-sia jika datanya belum masuk di DAPODIK. Seorang kehilangan uang sertifikasi bila kewajibannya tidak dipenuhi di DAPODIK, misalnya jumlah jam mengajar. Saya cenderung mengatakan DAPODIK menjadi alat kontrol yang bekerja secara sistem. Belum lagi, DAPODIK mulai terintergasi dengan absen online sehingga guru-guru tidak bisa main-main lagi.
Bila DAPODIK tumbuh menjadi aplikasi yang besar, powerfull dan futuristik tak lepas peran dari para Operator DAPODIK Sekolah, selanjutnya saya singkat Operator Sekolah. Kami, Admin atau Operator Dinas Pendidikan tak berarti apa-apa tanpa kerja keras para Operator Sekolah. Mereka bekerja pagi, siang dan malam. Kadang pula mereka bekerja dengan deadline waktu di tengah keterbatasan infrastruktur jaringan dan SDM.
Jadi, sesungguhnya, kehebatan DAPODIK itu, ya, kehebatan para Operatornya. Saya sulit membayangkan seandainya, DAPODIK itu dikendalikan di level dinas, apakah data akan real time dan cepat masuk dalam sistem. Maka dari itu, apresiasi itu pantas diberikan kepada para Operator Sekolah.
Tapi saya harus jujur. Kadang pula saya kesal dengan para operator. Mereka kadang berlagak seperti raja kecil. Kepala sekolah dan para guru pun takut padanya. Ya, memang, nyawa DAPODIK ada pada operator. Memang tidak semua Operator DAPODIK berlagak seperti itu. Ini bersifat kasusistis pada pribadi dan sekolah tertentu saja. Ini fakta. Hasil interaksi, sharing dan konsultasi kepala sekolah dan para guru dengan saya.