Lihat ke Halaman Asli

Giorgio Babo Moggi

TERVERIFIKASI

Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Asal Omong | Mengganti Yel-yel dengan Tepuk Tangan pada Debat Pilpres

Diperbarui: 23 Februari 2019   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Tribunnews.com)

Sejak Pilpres 2014, debat Pilpres paling dinantikan masyarakat Indonesia. Debat menjadi salah satu instrumen untuk menakar demokrasi Indonesia dan menakar kompetensi kepmimpinan calon presiden.

Demokrasi melingkup seluruh aspek. Salah satunya aspek partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat tak hanya diukur saat hari pencoblosan pula dalam proses menuju ke puncak pesta itu sendiri. Masyarakat terlibat aktif dalam seluruh rangkaian pesta demokrasi. Salah satunya, menjadi penononton dan pendukung yang setia pada setiap kali debat digelar.

Antusiasme masyarakat ini memberi warna demokrasi Indonesia semakin berwarna. Pilpres menjadi politik edukasi. Kemudian ini mewabah pula pada debat Pilgub. Debat Pilgub DKI 2017 yang paling fenomenal. Benar-benar dikatakan, debat Pilgub DKI 2017 benar-benar rasa Debat Pilpres. Tak lain karena sosok Ahok kala itu.

Pada Pilpres kali ini, menyisahkan dua debat lagi. Dua debat yang pertama menyisakan sejumlah catatan baik format debat, isi debat maupun penampilan Jokowi dan Prabowo beserta pasangannya.

Pada tulisan kali ini, saya tak akan mengomentari penampilan kedua kubu pada debat tapi lebih menyoal keberadaan penonton kedua kubu pada debat tersebut. Secara jujur, penulis tak sependapat dengan cara-cara pendukung Paslon meneriakan yel-yel dalam ruang debat. Penulis kadang kerap bertanya dalam hati, ini ruang debat atau stadion sepakbola?

Bagi penulis, ruang debat adalah ruang ilmiah. Maka yang hadir adalah orang-orang yang bersikap dan bertindak ilmiah. Apakah  dengan meneriakan yel-yel merupakan sebuah sikap ilmiah?

Karena ruang debat adalah ruang ilmiah, maka seyogyanya suasana harus mendukung suasana ilmiah tersebut. Memang kehadiran pendukung penting, menghadirkan atmosir suasana yang lebih meriah, tapi kadang keberadaannya (sikap dan tindakannya) mempengaruhi suasana yang tak terkendali sekalipun aturan debat diadakan.

Sebagai contoh, padat debat kedua, saat Jokowi cukup lama menyebutkan "lingkungan" sebagai salah satu tema di awal debat, pendukung Prabowo nyaris menghura. Begitu pula saat Prabowo sedang berbicara, kubu pendukung Jokowi "menggeruti" di belakang.

Suara-suara para pendukung menjadi "noise" yang mengubah suasana ruang debat seperti stadion atau gelanggang olahraga.

Suasana pendukung di ruang debat sebenarnya menggambarkan perangai kita yang sesungguhnya.  Sikap yang tak mau sabar mendengar orang lain berbicara. Sikap yang tak menghargai orang lain dan "mendewakan" jagoan masing-masing yang pada akhirnya bikin "noise". Pada akhirnya, kita hanya melihat suasana di ruang debat sebagai ruang kelas anak sekolah. Yang satu berbicara, yang lain menghura.

Para pendukung harus menyadari debat Pilpres adalah ruang edukasi politik. Menampilkan dua sumber utama yang "berdebat". Kesempatan itu pula memungkinkan publik mendengar visi, misi, program dan kegiatan, serta responnya terhadap berbagai persoalan bangsa. Suara-suara "noise" ini dapat mengganggu konsentrasi para kandidat selain para pemirsa dan penonton yang hadir pada debat tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline