[Tak ada yang dapat disangkal bahwa Towsnville adalah kota sekaligus ruang kelas terbuka nan dinamis. Segala pengetahuan didapat dari kota ini, bersumber dari berbagai referensi kehidupan yang unik dan beragam. Membekali penulis dengan hal-hal baru. Townsville's Diary adalah remah-remah pengalaman penulis di perantauan .]
Sentuhan kaki pertama di Sidney merupakan jawaban Tuhan atas setiap doa dan kerja kerasku. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan.
Sembilan Belas Juni Dua Ribu Tiga Belas. Pukul 21.00 WIB. Waktu saya meninggalkan Jakarta. Quantas, maskapai Australia, menerbangkan saya menuju Sidney. Rute penerbangan terpanjang yang pernah saya tempuh. Saya dan penumpang bermalam di dalam pesawat. Pertualangan pertama dalam hidup melintasi samudera raya.
Pesawat tepat di langit Sidney saat jarum jam menunjukkan pukul 05.30. Quantas memperlambat lajunya. Saya memandang dari jendela pesawat. Tampak gemerlap lampu-lampu yang menghiasi kota. Pijaran cahaya keemasan menyumbrat ke langit. Bumi opera house berpijak indah di mata sebelum pesawat mencium landasan.
Pesawat berbadan raksasa ini akhirnya mendarat mulus setelah sekitar 7 atau 8 jam terbang melintas Samudera Indonesia. Saya bertahan di tempat duduk hingga semua penumpang lain turun. Menatap kagum keindahan langit Sidney dari jendela pesawat yang sempit.
Lorong pesawat sepi. Saya pun berdiri dan melangkah menuju pintu keluar. Sapaan pramugari menjadi lukisan kenangan hangat kala saya tinggalkan pintu Qantas pagi itu.
Beberapa orang petugas sedang menunggu penumpang di pintu masuk ruang kedatangan. Kendaraan jenis buggy (kendaraan golf) setia menunggu untuk melayani penumpang berkebutuhan khusus atau kaum difabel, orang tua dan ibu hamil.
Seorang petugas bandara meminta saya naik di atas buggy. Saya diturunkan di lorong sebelum pintu pemeriksaan. Di bangku dimana saya akan duduk telah ada seorang ibu berhijab asal Indonesia yang saya ketemu di dalam pesawat semalam.
Sembari menunggu petugas menjemputku, saya bercerita dengan ibu yang ramah ini. Ia mengira saya memiliki keturunan Arab. Tak lama kemudian, seorang petugas wanita datang ke arahku dan menyuruh saya naik kursi roda. Ia mendorong kursi roda menuju pintu pemeriksaan. Saya menyerahkan visa dan passport kepadanya. Setelah mengikuti prosedur pemeriksaan, ia mengantar saya keluar gedung kedatangan. Ia menghentikan bus dan menuntun saya naik bus serta menjelaskan tujuanku kepada sopir, lalu ia turun kembali.
Saya hanya memerlukan waktu 10 menit tiba di terminal domestik. Tepatnya di gedung pelayanan maskapai Virgin dan Jet Star. Tanpa ragu-ragu saya masuk ke gedung tersebut. Saya melirik ke kiri dan ke kanan ruang kedatangan.
Saya sedikit gugup karena pengalaman pertama memijakkan di kota megapolitan negeri orang. Tanpa melihat petunjuk yang ada, saya langsung menanyakan loket Jet Star kepada dua orang petugas yang sedang berdiri di dekat pintu masuk. Mereka mengarahkan saya ke loket yang ada di sebelah kanan. Ketika saya mendekati loket tersebut tertulis Virgin Airlines di atasnya. Saya menggerutu. Lalu, saya berbalik dan mencari loket Jet Star tanpa bertanya lagi ke orang-orang di sekitarnya. Saya memperhatikan petunjuk arah dan akhirnya saya menemukan juga loket Jet Star.