Kasus Novel Baswedan belum diungkap secara terang benderang, muncul kasus lain yang menimpa pegawai lembaga anti rasuah tersebut. Tantangan KPK semakin berat. Semakin banyak kasus yang diungkap, semakin besar pula ancaman yang datang dari luar.
Di satu sisi, kita prihatin dengan nasib naas yang dialami pegawai KPK, namun di lain pihak kita mengkhawatirkan kasus ini akan dipolitisasi dan politisasi bisa saja terjadi karena peristiwa itu terjadi di tahun politik.
Perang itu akan diawali dengan membangun opini. Lalu saling tuding. Kubu yang paling menderita adalah kubu petahana. Karena apa? Karena peristiwa tersebut terjadi di eranya. Jokowi akan dinilai gagal bahkan dapat dituduhkan sebagai pihak dibalik upaya pelemahan KPK. Tuduhan itu bukan menjadi hal yang baru muncul. Sejak kasus Novel pun, Jokowi terbawa-bawa.
Penulis tak mau terjebak dalam perang opini. Apalagi melibatkan diri dalam 'perang' yang bikin dahi berkerut dan hanya mereduksi kewarasan berpikir. Penulis mencoba untuk menarik sebuah kesimpulan sementara. Bahwasannya KPK bukan lagi lembaga yang kebal dari ancaman.
Ancaman hingga tindakan kekerasan mengindikasikan bahwa KPK dalam situasi darurat atau rawan. Orang, entah siapa (dibalik itu semua), semakin berani bertindak dengan kekerasan secara tak bertanggungjawab. Situasi seperti ini, nyali KPK sedang diuji. Apakah mereka tak gentar dan semakin gagah memerangi koruptor atau sebaliknya?
Ancaman dan teror bukan tanpa sebab. Bila mau jujur ancaman tersebut tak lepas dari keberhasilan KPK mengungkapkan berbagai kasus korupsi. Merujuk pada data Transparancy.org yang dilansir Katadata.co.id (26/12/2018), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami peningkatan meskipun bergerak lambat. Artinya apa? Ya, ada keberhasilan KPK di sana. Seberapapun kecil keberhasilan itu. Ini dapat dilihat pada data tahun 2017, IPK Indonesia mencapai 37, naik sebanyak 5 poin dari 32 pada tahun 2012. IPK Indonesia naik satu poin menjadi 38 pada 2018.
Perlu diketahui, IPK mendekati angka 0 menunjukkan korupsi suatu negera semakin tinggi, sebaliknya mendekati angka 100 mengindikasikan sebuah negara semakin bersih dari korupsi.
Secara internasional, IPK Indonesia menempati posisi ke-89 dari 180 negara yang disurvei pada tahun 2018. Kondisi ini menunjukkan ada kenaikan peringkat sebanyak 7 tingkat, jika dibandingkan pada tahun 2017 berada di posisi pada peringkat ke-96 dari 180 negara yang disurvei (Tribunnews.com, 04/02/2019).
Selisih IPK Indonesia dengan Selandia Baru sebagai negara yang memiliki IPK tertinggi (89) mencapai 52 poin, sedangkan dengan Somalia yang berada di juru kunci (9) mencapai 28 poin. Di antara negara Asia Tenggara, IPK Indonesia masih kalah tinggi dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Namun, peringkat IPK Indonesia berada di atas Thailand dan Vietnam.
Merujuk pada statistik di atas, IPK Indonesia naik 1 poin (38) pada tahun 2018 dari 37 pada tahun 2017 atau rata-rata naik 1 poin setiap tahunnya sejak 2012. Dengan kata lain, IPK Indonesia mengalami trend positif setiap tahunnya. Kinerja KPK memerangi korupsi positif pula.
Pergerakan IPK Indonesia terbilang lambat disebabkan karena praktek korupsi justeru terjadi di sektor politik dan penegakan hukum. Data Katadata.co.id (04/12/2018) mengungkapkan pejabat atau pegawai negara dan swasta yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-September 2018 berjumlah 911 orang plus 4 korporasi. Dari total angka tersebut, anggota DPR/DPRD sebanyak 229 orang dan disusul pegawai swasta berjumlah 214 orang serta pejabat pemerintah sebanyak 192 orang.