Lihat ke Halaman Asli

Giorgio Babo Moggi

TERVERIFIKASI

Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Kitab Suci Fiksi, Rocky Gerung Berfilsafat di Ruang dan Waktu yang Tidak Tepat

Diperbarui: 1 Februari 2019   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rocky Gerung (Tribunnews.com)

Saya tak pernah belajar khusus tentang filsafat. Kalaupun saya tahu tentang filsafat, itu pun hal yang remeh temeh saja.

Seorang sahabat mengingatkan saya untuk menulis bidang yang spesifik -- supaya menjadi ahli pada bidang tertentu. Lanjut, kata sahabat, menulis semua hal itu pekerjaan wartawan. Mereka tahu banyak hal, tapi tak mendalam.

Lalu, ia menyarankan saya harus belajar filsafat (membaca buku-buku filsafat). Saya pun diam-diam mengumpulkan berbagai buku filsafat. Saya melahapnya meskipun kepala sedikit puyeng. Itu pun baru satu buku yang dibaca -- separuh saja yang dikuliti isinya.

Dari pengetahuan filsafat yang masih sekuku hitam ini, lantas saya membuat kesimpulan sepihak. Filsafat itu tak jauh dari kehidupan manusia itu sendiri. Apapun  aktivitas manusia yang melibatkan pikiran sesungguhnya manusia sedang berfilsafat. Membaca pun berfilsafat.

Persis dikatakan sahabat saya, "Abang, kalau mau menulis harus didahului dengan pertanyaan?" Tanpa dijelaskan maksudnya, lagi, saya mengambil konklusi sepihak. Kalimat tanya itu menjadi "pisau bedah" obyek yang dipelajari untuk menemukan jawaban.

Bertanya itu melekat dalam hakikat manusia. Pada dasarnya manusia adalah makluk "bertanya" karena miliki akal. Bertanya, artinya berfilsafat.  Bertanya adalah permulaan berfilsafat.

Ketika seseorang mengamati sesuatu tanpa 'bertanya", ia belum dikatakan berfilsafat. Tapi, pertanyaan itu muncul setelah seseorang melihat sesuatu atau obyek. Ia mengamati 'permukaan' obyek atau sesuatu itu. Lalu, ia mengurainya dengan pertanyaan demi pertanyaan tentang hakikat obyek tersebut. Setiap pertanyaan terjawab melahirkan pertanyaan berikut. Begitu pun seterusnya.

Maka ketika Rocky Gerung mengatakan Kitab Suci "fiksi" -- menurut saya - itu permulaan berfilsafat. Bisa pula pernyataan itu merupakan kesimpulan akhir penjelajahannya di ruang filsafat sebelumnya.

Rocky Gerung ibarat anak-anak yang baru belajar filsafat. Baru latih bermain kata-kata (semiotik), logika dan menggunakan daya kritis terhadap dogma dan tradisi, terutama Kitab Suci diyakini kebenarannya sebagai Wahyu Allah selama berabad-abad.

Dan, Rocky Gerung bukanlah satu-satunya orang yang pernah belajar filsafat. Banyak orang di Indonesia yang lebih hebat daripadanya -- apalagi membandingkan dengan tokoh filsuf dunia. Mereka-mereka itu layak disebut sebagai filsuf.

Penulis pun tak pantas menyebut dirinya 'filsuf'. Lebih tepat Gerung hanya seorang yang sedang belajar filsafat seperti kebanyakan anak-anak yang baru naik badan belajar filsafat di tahun-tahun pertama. Tahu sedikit ilmu filsafat lalu mulai pamer. Ia bermain logika dan mempermainkan logika masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline