Lihat ke Halaman Asli

Giorgio Babo Moggi

TERVERIFIKASI

Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Tutubadha, Kampung Adat di Bibir Ngarai

Diperbarui: 22 Januari 2019   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak Kampung Adat Tutubadha, Nagekeo, NTT (Foto: Dok. Pribadi)

Hujan baru saja melibas Rendu dengan derasnya. Memaksa kami untuk berteduh di rumah salah seorang guru. Waktu beranjak menuju tapal batas senja. 

Guratan langit Rendu kian cerah tapi menyisahkan titik-titik gerimis. Kami berjalan beringinan dengan rintik-rintik hujan. Pulang ke kota Mbay, ibukota Kabupaten Nagekeo, NTT, yang memesona saat musim hujan tiba.

 Pak Paskalis mengajak saya mampir di rumahnya. Minum kopi senja sebelum beranjak dari tana Re(n)du. Menghangatkan tubuh yang keruh oleh dinginnya pasca hujan deras.

Rumahnya tepat di sisi kanan jalan Aemali-Mbay. Sisi kiri jalan terdapat ngarai yang sangat dalam dan di lembahnya terdapat perkampungan. Ia memarkir motornya di teras depan rumahnya. Saya menaiki tangga menuju lantai dua.

Halaman Kampung Adat Tutubadha, Nagekeo, NTT (Foto: Dok. Pribadi)

Pemandangan sangat indah. Keperkasaan bukit Munde. Sisa-sisa kabut bak kapas merias keperkasaan bukit di depan mata. Lainnya menggelantung di lembah ngarai itu. Berada di ketinggian, sejajar dengan kabut, saya merasakan bak berada di negeri atas awan.

Pemandangan sore itu memesona. Memanjakan mata. Bayangkan saja, suasana alam setelah hujan. Segar dan asri.
Hujan benar-benar redah. Tak satu titik hujan yang menetesi bumi. Kabut berterbangan kian kemari diterpa angin. Kami meninggalkan rumah pak Paskalis. Bergerak pulang ke Mbay.

Sesampai di gerbang Kampung Adat Tutubadha, saya pinta pada Pak Paskalis untuk mampir sejenak. Merasakan sensasi keheningan, keunikan dan magisnya kampung tradisional ini.

"Kita lewat samping kampung saja, "tutur Pak Paskalis.

Anak-anak Kampung Adat Tutubadha, Nagekeo, NTT (Foto: Dok. Pribadi)

Tiba di salah satu pintu masuk kampung adat, beberapa ibu mandi di pancuran, persis di samping kampung. Kampung ini benar-benar asli. Tak terjamah bangunan modern. Bangunan rumah modern hanya boleh berdiri di luar kampung. Rumah adat seratus persen berbahan alami dan lokal.

Halaman kampung sangat luas. Rerumputan membentang seluas halaman. Sepintas orang melihat bagaikan permadani hijau. Halaman kampung dibatasi susunan bebatuan yang ditata rapih. Kendaraan tak boleh masuk halaman kampung. Itu wajib hukumnya.

Saat kami tiba, suasana kampung sangat hening. Beberapa ibu duduk di beranda rumahnya masing-masing. Satu-dua remaja putri duduk di atas kubur batu yang berada di halaman kampung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline