Setiap orang dikarunia talenta yang berbeda-beda. Ada orang yang dikarunia segala bisa. Musik bisa. Sains bisa. Olahraga bisa. Serba bisa. Ada orang tertentu hanya dikarunia kemampuan tertentu. Misalnya, ia pandai berkata-kata tetapi tidak mampu menulis atau sebaliknya.
Mengikuti Debat Pilpres perdana semalam, Kamis, 17/01/2018, mempertontonkan dua figur yang bertolak belakang dalam aspek KOMUNIKASI PUBLIK. Prabowo berbicara begitu mengalir tanpa teks. Jokowi yang sekali-kali mengarahkan mata ke teks.
Jadi, dari kemampuan berbicara Prabowo unggul atas Jokowi. Prabowo bicara lepas tanpa teks, Jokowi malah baca teks. Tapi berbicara lancar tak menjamin KONTEN PEMBICARAAN BERBOBOT.
Orang boleh saja berbicara berapi-api, mengalir, dan menggelegar belum tentu BOBOT PESAN mendalam, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Pendek kata, orang yang pandai berbicara tak menjamin BOBOT PESAN BERBASIS DATA. Maka ada sering ada ungkapan yang mengatakan "Tong kosong nyaring bunyi".
Prabowo mungkin, ya pakai kata mungkin, telah mempersiapkan diri untuk berbicara tanpa teks. Hal itu bisa saja terjadi karena latihan, pendidikan dan pengalaman. Apalagi latar belakang keluarga yang memungkinkan ia dapat meraih apa saja yang diinginkannya.
Karena itu tak mengherankan, oleh segelintir orang menyebutnya sebagai orator ulung dan bahkan menyebutnya sebagai "reinkarnasi" Soekarno. Bisa saja benar pendapat ini.
Dilihat cara berbusana dan gestur berbicara menunjukkan sebagai orator ulung -- apalagi kalau saat pidato suasana panggung (khususnya bentuk mikrofon) seperti yang pernah digunakan Bung Karno.
Lain lagi Jokowi. Latar belakang 'tukang' yang cenderung berbicara apa adanya. Tak luar biasa. Maka saya sepakat dengan pendapat orang, soal pilihan diksi Prabowo unggul atas Jokowi. Sesekali Prabowo memunculkan isitilah asing dalam debat. Lagi, apakah ini penting? Apakah ini perlombaan pidato yang mesti memperhatikan seluruh aspek yang mesti dinilai?
Memang kita menginginkan pilihan kita yang serba bisa dari seluruh aspek yang dipotretkan sebagai pemimpin. Kadang orang menginginkan seorang presiden harus bisa berbicara bahasa asing, tapi kenyataan Soeharto bertahan memimpin Indonesia dan membangun hubungan bilateral selama 32 tahun.
Kadang kita menginginkan potret pemimpin yang pandai berpidato, tapi kenyataan pemimpin tidak pidato setiap hari-ini bukan eranya perjuangan seperti masa Soekarno.
Selama semua aspek yang kita harapkan dari pilihan yang ada, maka tak ada cara lain kita membuat urutan prioritas prasyarat pemimpin yang ideal. Tapi yang paling penting adalah PEMIMPIN HARUS MENJADI DIRINYA SENDIRI. Apa adanya.