Masih dalam rangkaian liburan Idul Fitri. Melakoni ‘tapaleuk’ alias jalan-jalan mulai dari Pulau Semau, Baun, ‘naik tangga’ Fatuleu hingga bersemedi di Kemah Tabor Mataloko, Ngada, Flores. (Baca: Dari Kemah Tabor Mataloko, Menerawang La Masia, hingga Piala Dunia Rusia)
Fatuleu bukan nama yang asing. Nama yang sangat familiar. Selain nama wilayah administrasi pemerintah kecamatan, Fatuleu adalah (pe)gunung(an) batu di Kabupaten Kupang. Fatuleu tersusun dari dua kata, yaitu fatu dan leu. Fatu artinya batu, leu artinya keramat. Fatuleu artinya batu keramat.
Apapaun artinya saya memilih untuk menyebutkannya nama tempat ini sebagai gunung batu. Karena memang seperti sebuah gunung yang tersusun dari bebatuan. Wujudnya unik dan khas sehingga mudah dikenal dari posisi kita berdiri --jauh sekalipun.
Warga Kota Kupang dapat memandang keperkasaan batu raksasa ini. Dapat dilihat dari seluruh penjuru mata angin. Dari udara pun kita dengan mudah mengenalnya. Bila Anda sedang berada di dalam burung besi, baik sesudah take off maupun menjelang landing, keperkasaan bukit itu menggugah penasaran.
Saya sendiri mengenal tempat ini sejak hijrah dari Yogyakarta - bertarung dengan nasib di Kota Karang. Namun, untuk sampai ke tempat ini baru pada liburan kali ini.
Sebelum akses jalan tengah dibuka, gunung ini mungkin tak ada apa-apanya. Tak diminati wisatawan. Mungkin juga masyarakat setempat mengira keberadaan gunung ini tak ada gunanya. Didukung oleh trend media sosial, tempat ini menjadi salah satu spot wisata yang instagramable. Wisatawan pun membanjir ke sana.
Destinasi liburan ini atas rekomendasi sahabat seperjalanan, Bruno, saat sekembali dari Baun. Bruno bilang alangkah baiknya, kami harus taklukkan Fatuleu. Bruno memastikan bahwa jalan ke sana jauh lebih baik jika dibandingkan dengan jalan di Semau atau Baun.
Kami berangkat sekitar pukul 13.00. Mengendarai motor milik Bruno. Sempat berhenti di beberapa titik untuk pengambilan foto dengan latar kompleks perkantoran pemerintah Kabupaten Kupang.
Menuju kaki Fatuleu seperti kita harus mendaki bukit dengan jalan berliku tapi mulus. Kami bertemu dengan kendaraan baik roda dua maupun roda empat dari arah berlawanan. Tak sedikit pula kendaraan yang menuju ke sana. Bruno menyeletuk,"Orang sudah pada pulang, kita baru datang."
Setiba di pelataran kaki Fatuleu, betapa terkejutnya saya. Saya tak menyangka di lokasi tersebut telah tersedia infrastruktur yang memadai. Mulai area parkir, lopo, toilet umum hingga lapak-lapak bagi penjual. Begitu pula akses ke gunung Fatuleu telah dibangun tangga dari semen.