Lihat ke Halaman Asli

Giorgio Babo Moggi

TERVERIFIKASI

Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dari Kemah Tabor Mataloko, Menerawang La Masia, hingga Piala Dunia Rusia

Diperbarui: 23 Juni 2018   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok. Pribadi)

Liburan Idul Fitri saya kali ini merupakan sesuatu banget. Tiga hari, tiga destinasi dijelajahi sebelum berakhir di kampung halaman. Saya menyebut sesuatu banget karena pertualangan ini muncul secara spontan. Tanpa rencana matang sebelumnya. Sementara saya sendiri memiliki agenda lain untuk mengisi liburan yang kemudian tak dapat dieksekusi. Mengesankan!

Kisah-kisah perjalanan saya sudah ditulis di media ini. Perjalanan saya ke Pulau Semau yang mendebarkan hingga akhirnya jatuh cinta dengan pesona Pantai Liman. (Baca : Ketika Aku Jatuh Cinta Dengan Sang Bidadari dari Pulau Semau). Benar-benar pengalaman yang luar biasa. Melewati lorong medan nan berat di tengah malam yang pekat. Tanpa disadari perahu motor memulangkan kami ke Tenau Kupang. (Baca: Terobos Lorong Malam, Sisir Selatan dan Barat Pulau Semau hingga Terjang Gelombang Teluk Kupang).

Tampak depan Kemah Tabor Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)

Pulau Semau tiada duanya. Tabir tanah Semau yang asing tersingkap. Pesonanya memang luar biasa. Ya, sama luar biasanya ketika saya bertualang selatan Pulau Timor. Tepatnya Baun, dimana singgasana Raja Amarasi berada. Bukti keberadaanya tetap terpelihara. Serta air mata Baun yang menjadi jantung kehidupan masyarakat Baun. Bukankah air itu merupakan sumber kehidupan? Jika sumber ini tidak ada, bagaimana mereka hidup? Pula tempat ini menjadi paru-paru 'kota' Baun. (Baca: Air Mata Baun, Jantung dan Paru-paru Masa Lampau yang Terjaga Hingga Kini ).

Tak puas di air mata Baun, kami beralih ke spot wisata kuliner yakni se'i Baun yang terkenal itu. (Baca: Se'i yang Manjakan Lidah, Istana Raja Amarasi dan Pohon-pohon Raksasa yang Merayu Mata). Atau, pantai eksotik yang tersembunyi di dalam cekungan teluk yang lebar. (Baca: Tepian Surga yang Tersembunyi di Desa Erbaun).

Satu tulisan yang masih tersisa adalah perjalanan saya ke Fatuleu. Batu-raksasa-raksasa di Kabupaten Kupang. Tantangan di sini, anda harus melewati ratusan anak tangga dan kemudian melewati bongkah-bongkahan batu besar menuju puncak. Nantikan kisah ini pada kesempatan lain. He he he ...

Seperti saya singgung di awal, saya menutup liburan di kampung halaman. Ini juga tak direncanakan. Serba mendadak. Karena urusan penting. Saya naik Trans Nusa. Turun di Bandara Soa (Baca: Bajawa). Saya terlalu membuang banyak waktu di bandara. Penumpang lain mungkin sudah sampai tujuan, saya baru start menuju kota Bajawa. Setiba di kota, saya mampir di cafe langganan, Credo Caf. Tentang caf ini akan saya tuliskan khusus.

Frater Apris SVD di salah satu sisi Kemah Tabor Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)

Seperti biasa, saya memesan makan siang. Menu khas Credo Caf. Sambil bacarita dengan Ardis, sang pemilik. Jam menunjukkan setengah dua siang. Tentu saja tak ada lagi angkutan menuju kampung. Taruhannya, saya harus estafet dengan berharap dapat angkutan ke kampung atau pinta keluarga jemput di titik terdekat dengan kampung.

Maka saya menumpang ojek ke Terminal Watujaji. Hanya sebuah travel Ende parkir di tepi jalan dekat terminal. Sopir menawarkan jasa. Saya beritahu tujuan Mauponggo. Sopir pun diam. Ia menawarkan saya duduk di bangku depan kios. Katanya, angkutan ke Mauponggo sudah berangkat. Saya tetap pasrah menunggu.

Sepupu saya telepon bahwa mereka sedang menuju Mataloko. Kami janjian ketemu di sana. Nah, bagaimana cara kesana? Sebuah angkutan lewat Mataloko. Saya menghentikan kendaraan tersebut. Saat saya mau masuk angkutan, saya lihat ada ruang untuk satu orang. Space tersebut ada di belakang. Saya menyampaikan kesulitan saya  berjalan ke belakang kepada penumpang tapi reaksi  mereka diam saja. Mereka tak mau sorong -- istilah orang Flores untuk kata geser.  He he he.

Mayoritas penumpang adalah kaum hawa. Seorang pria tua duduk dekat pintu. Lainnya kernek atau konjak (istilah orang Flores). Saya putuskan duduk di dek angkutan di pintu masuk.  Pria yang duduk dekat pintu tak bereaksi. Saya hanya dengar kasak-kusuk ibu-ibu. Mereka bilang kasihan dalam bahasa setempat. Pria itu sesekali bicara.

Saya sempat membathin, "Akh, bapak ini sulit sekali geser posisi duduknya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline