Keberadaan mata air Baun di tengah hutan belantara bagaikan 'oase' yang memuaskan dahaga jiwa petualangku. Salah satu destinasi yang tak terbersit sedikit pun di benakku. Bayanganku hanya satu-satu destinasi yang ada di Baun, yakni Se'i Baun, milik om Ba'i. Ternyata tidak! Manuver Bruno yang tiba-tiba mengalihkan tujuan ke sumber air ini membawaku pada pengalaman yang baru. (Baca: Mata Air Baun, Jantung dan Paru-paru Masa Lampau yang Terawat Hingga Kini).
Suasana sekitar pancuran mata air Baun remang-remang. Cahaya matahari sulit menelisik di antara celah-celah daun yang begitu rapat. Rimbunan pepohonan yang begitu lebat mengecoh keadaan sekitarnya seperti suasana pukul enam petang. Padahal, jam handphone-ku masih menunjukkan pukul dua siang.
Alam nan sejuk. Bikin perasaan betah untuk tetap bertahan. Apa daya tujuan utama kami belum kesampaian, maka kami mempercepat langkah menuju parkiran motor. Kami harus berpisah dengan mata air kehidupan masyarakat Baun ini. Hanya kenangan yang tersisa dalam file demi file foto digital. Semoga foto-foto itu membangkitkan memori bila rindu kami pada mata air Baun menyeruak kelak.
Meskipun tujuan kami ke rumah makan Se'i Baun, sesungguhnya Bruno tak tahu tempat itu berada. Saya lupa-lupa ingat dengan jalur menuju tempat tersebut. Karena 10 tahun lalu saya pernah mengunjungi rumah makan tersebut.
Bersama pimpinan Unit Pelayanan Unwira, yang juga adalah mantan rektor Unwira Kupang, almarhum P. Yan Bele SVD, beserta karyawan UP, berpiknik di sini. Ingatan yang masih membekas adalah melewati jalan tanjakan sebelum berhenti di pelataran rumah makan yang berada di dataran yang lebih tinggi.
Agar tidak tersesat, setelah keluar dari kawasan mata air Baun, saya pun menanyakan kepada sepasang suami istri yang melintas di situ.
"Bapak, dimana rumah makan se'i babi?"
"Di perempatan dekat Puskesmas, anak dorang belok kanan saja." Jawab pria itu.
Ocha dan Yonas berada di belakang kami. Ocha menyela, "Saya tahu tempatnya."
Kami bergerak hingga menemukan perempatan dimaksud. Di sudut kiri perempatan terdapat sebuah rumah tua. Arsitektur bangunannya unik. Memiliki pelataran luas. Juga ada panggung permanen yang terbuat dari semen. Sebuah papan nama bertuliskan "Istana Raja Amarasi".
Istana ini menarik perhatian saya. Saya terpikir untuk meminta Bruno menghentikan motornya. Karena takut rumah se'i tutup, saya urungkan niat tersebut. Saya berharap sekembali dari sana, mampir di tempat ini. Sekedar berfoto ria. Mengabadikan kenangan di rumah singgasana Raja Amarasi. Kami pun belok kanan hingga menemukan rumah makan Se'i yang berada di ketinggian.