Masih di puncak Gunung Liman. Matahari beringsut menuju tapal batas kaki ufuk di sebelah barat. Bentangan pasir putih Pantai Liman bak permadani sutra. Saya merebahkan diri di atasnya. Memandang langit yang meranggas. Meninggalkan jejak warna kuning keemasan pada permukaan samudera. Warna rumpu-rampe. Merah muda, kuning dan oranye serta hitam di langit. Efek dari semburan cahaya sang fajar yang menyumbrat.
Adalah kenangan sesaat sebelum sang fajar melewati tapal batas kaki ufuk hingga tabir gelap menyelimuti Pulau Semau. Kisahku ini sebagaimana termaktub pada catatanku terdahulu, menyiratkan perasaan yang enggan beranjak dari Pantai Liman (Baca: Kala Aku Jatuh Cinta dengan Sang Bidadari dari Pulau Semau).
Rasa takut menguntit benak. Belum lagi, saya membayangkan rute perjalanan pulang. Tak semua jalan mulus. Jalan beraspal diselingi jalan berbatuan. Hutan dan semak belukar menambah suasana yang menakutkan. Saya ingin bergegas meninggalkan Pantai Liman.
Ternyata, Bruno, mengambil haluan lain. Tak melewati rute yang kami lalui sebelumnya. Di tengah kegelapan malam, ia terus memacu kuda besinya melintas jalan tak beraspal alias jalan tanah. Saya mengingatkan Bruno bahwa ia telah salah memilih rute perjalanan pulang. Dengan santai, Bruno menyahut, "Ame, tenang sa."
Suasana sangat gelap. Saya tak dapat melihat pemandangan sekitarnya. Bruno menjelaskan rute yang sedang dilalui ini merupakan jalan yang melintas sepanjang pantai selatan dan barat Pulau Semau lalu berbelok ke arah Uitao dan kembali ke pelabuhan Kuanin di sebelah utara Pulau Semau.
Sejak awal kedatangan kami di Pulau Semau, kami sepakat kembali ke Kupang pada hari itu juga. Bruno memacu tunggangan besinya sedikit lebih cepat. Kami sempat mampir kenalannya di sebuah kampung yang saya lupa namanya. Lebih kurang 15 menit, Bruno bernostalgia dengan sahabatnya. Kemudian kami pamit, melanjutkan perjalanan yang belum tuntas.
Hati diliputi kegelisahan. Apakah gerangan ada perahu motor yang akan menghantar kami pulang ke Tenau? Sementara jarum jam menunjukkan pukul 19.30. Bruno terus mengeber motornya. Kami bergerak ke pelabuhan dengan penuh harapan. Berbagai rencana disiapkan seandainya tidak ada tumpangan pulang ke Kupang. Kami akan menginap di rumah kenalannya tak jauh dari pelabuhan. Atau, kami balik ke Puskesmas.
Perjalanan pulang yang menyeramkan. Karena kami melewati lorong malam. Gelap gulita. Tak banyak berharap penerangan jalan raya. Tak akan Anda dapatkan dalam perjalanan pulang. Tak bisa pula mengharapkan kecipratan cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk. Saat kami melintas, aliran listrik tiba-tiba padam. Sesaat gelap gulita. Penerangan yang sedikit baik, ketika kami masuk ke pelabuhan perahu motor yang berada di Teluk Kuanin.
Aktivitas pelabuhan sepi. Terlihat beberapa anak buah perahu motor sedang melemparkan sauh ke dasar laut. Lainnya mengingkatkan tali pada dinding pelabuhan. Terdapat sebuah motor parkir di tepi teluk. Dua pemuda yang wajahnya tak asing juga berada di dekat motor tersebut. Mereka satu perahu motor dengan kami saat datang ke Pulau Semau.
Hati saya sedikit tenang saat turun dari motor. Saya bertanya kepada orang-orang yang berdiri di situ, "Ada perahu motor yang berangkat ke Kupang?". Dua pria yang wajahnya tak asing itu pun menjawab dengan anggukan kepala. Pria yang lain menyahut kita harus bersabar.
Salah seorang pemilik perahu motor menyampaikan hal yang sama. Menunggu pasang naik. Supaya perahu motor dapat merapat ke bibir pelabuhan. Sehingga anak buah perahu motor dapat menaikan motor-motor milik penumpang dengan mudah ke atas perahu.