Mengisi liburan Idul Fitri, saya dan Bruno, seorang sahabat, berencana tapeleuk ke Se'i Baun. Se'i Baun adalah satu-satunya obyek wisata kuliner di Baun. Di sinilah cikal bakal kuliner khas Kupang yang sangat terkenal itu. Tentang se'i Baun akan diceritakan pada bagian lain.
Malam sebelum berangkat ke Baun, Bruno tiba-tiba berubah pikiran. Ia mengirimkan pesan melalui Whatsapp. Menawarkan pengalihan destinasi. Dari Baun ke Pulau Semau. Wah, saya tentunya sepakat.
Semau, sebuah pulau yang terletak tak jauh dari Kota Kupang. Dekat di mata, tapi jauh di hati. Tak jauh dari pelupuk mata, tapi rasa di hati jaraknya jauh sekali. Belum kesampaian memijak kaki di sana hingga detik ini. Tawaran Bruno membangunkan mimpi lama yang nyaris sirna dari benak. Berkelana di Semau. Mencumbui lekak-lekuk pantai nan eksotis. Panorama Semau yang hanya disaksikan melalui jendela pesawat. Saya hanya mampu melumat bibir lekak-lekuk Semau dengan mata dari udara.
Tawarannya tak dapat ditolak lagi. Saya kontan menyetujuinya. Bruno berpengalaman kerja di Pulau Semau. Ini menjadi modalnya menjadi pertualangan kami. Sekaligus ia menjadi pemandu tapeleuk kami hari itu. Saya tak ragu lagi, kecuali hati berkata, "Go, go, go...!!!
Rencana yang baik, hasil pun pasti baik. Tapi kadang kala perencanaan yang matang, belum tentu terlaksana. Terlalu mempertimbangkan banyak aspek. Saking banyak pertimbangan, apa yang direncanakan batal dilaksanakan.
Makanya, kadang-kadang, saya lebih suka sesuatu yang dadakan. Perjalanan kami ke Pulau Semau adalah rencana yang tak terpikir sebelumnya. Terjadi begitu saja. Saat pesona Pulau Semau melintas di benak Bruno, keinginannya pun datang. Pulau yang berasa kampung sendiri. Di mana ia memulai karirnya sebagai seorang ASN. Dan, tentu saja, sesuatu yang serba dadakan biasanya terselip seni dan tantangan tersendiri.
Kami memulai pertualangan sedikit terlambat. Meninggalkan rumah jam 11. Perjalanan dari rumah ke Tenau memakan waktu sekitar 45 menit. Kami masih mampir di beberapa tempat untuk membeli perbekalan dan mengisi bahan bakar. Sementara niat kami ingin mengelilingi Pulau Semau selama sehari tapi sulit diwujudkan karena kami menghabiskan waktu 1 jam lebih di pelabuhan Tenau. Kapal motor yang kami tumpangi harus menunggu penumpang. Waktu tunggu tiga kali lipat daripada lama waktu perlayaran menyebrangi selat yang memisahkan Kota Kupang dengan Pulau Semau ini.
Sauh perahu motor ditarik. Sesaat lagi kapal motor berangkat. Perahu berukuran kecil ini terisi penuh dengan penumpang. Pula motor-motor milik penumpang berjejer rapih. Saya dan Bruno memilih untuk duduk di dek atas yang terbuka. Sehingga kami bisa memantau pemandangan dengan leluasa.
Perahu motor melaju dengan anggun kala dipermainkan gelombang laut yang ramah. Terasa begitu cepat, sekitar 30 menit, perahu motor bersandar di pelabuhan ferry, daerah Hansisi. Sebenarnya, pelabuhan perahu motor di Kauan, teluk sempit nan teduh. Karena ada permintaan seorang penumpang, perahu motor tersebut mampir di pelabuhan ferry. Kami pun berama-ramai turun. Sementara penumpang lain tetap turun di pelabuhan perahu motor yang bejarak sekitar 1,5 Km dari pelabuhan ferry.
My first touching, bumi Semau pun terwujud. Sajian pemandangan di depan mata menakjubkan. Beberapa kapal besar berteduh di Teluk Kupang, tak jauh dari bibir pantai Semau. Tenau, Alak, dan Bolok ada di seberang. Jaraknya begitu dekat. Obyek-obyek di seberang seperti pabrik semen, pelabuhan Tenau dan daerah sekitarnya terpampang jelas dengan pengamatan mata telanjang.
Kami memulai perjalanan di Pulau Semau dari pelabuhan ferry. Bergerak ke arah barat. Melewati ruas jalan yang tak jauh bibir pantai. Saya tergoda oleh pantai eksotik. Berpasir putih-halus. Sebuah tugu tegak berdiri di bibir pantai. Entah tugu apa? Tak ada seorang pun di sana yang memungkinkan saya bertanya. Bentuknya seperti kapsul tapi ujung sedikit lebih lancip. Sementara Tenau tampak dari titik ini. Menjadi latar belakang pemotretan yang memesona mata dan jiwa petualang.